Sabtu, 21 November 2009

“Manyanggar” (Membersihkan Bumi dari Bahaya Bencana)

Solidaritas Rakyat Untuk Solusi Krisis Iklim Global
Jalan lain bagi masyarakat local dalam menyelamatkan kehidupan

By: Petak Danum, ARPAG, SHI, Kelompok Pengrajin Rotan, Petani Karet, Koperasi Hinje Simpei, CSF, FOE, WALHI, Sawit Wacth.

Manyanggar atau ruatan bumi dan atau manenga lewu biasa dilakukan oleh suku dayak ngaju sebagai masyarakat local yang bermukim di wilayah hutan – lahan gambut Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau dan Barito Selatan dan Kota Palangkaraya. Upacara adat ini salah satu bagian terpenting bagi suku dayak ngaju dalam memberikan ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta (Tuhan) dan Penghuni Alam Semesta atau alam gaib. Upacara ini di persembahkan karena Sang Pencipta dan penghuni alam semesta telah memberikan rejeki dan keselamatan selama masyarakat bekerja, berusaha di suatu wilayah yang diyakini sebagai sumber-sumber kehidupan generasi saat ini dan generasi mendatang. Untuk mewujudkan rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta dan penghuni alam semesta, maka, komunikasi terpenting bagi suku Dayak Ngaju di sampaikan dengan menyelenggarakan upacara adat Manyanggar (ruatan bumi). Thema Manyanggar (ruatan bumi) tahun 2009 ini adalah: Solidaritas Rakyat Untuk Solusi Krisis Iklim Global.

Latar Belakang: Lahan gambut Indonesia merupakan gambut tropis terluas didunia, sekitar 38 juta hektar (Dephut, 1997). Kekayaan ini sekaligus jadi petaka, pemerintah orde baru mengembangkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar di Kalimantan Tengah melalui Surat Keputusan Presiden No 82 tahun 1996, untuk di cetak menjadi kawasan persawahan bagi kebutuhan nasional. Proyek ini sepertinya tidak banyak mempelajari kondisi gambut dan kehidupan masyarakat lokal. Akibatnya, proyek ini bukannya bermanfaat bagi lingkungan gambut maupun masyarakat lokal, tetapi menjadi bencana yang sengaja di ciptakan. Akibatnya, lebih 82.000 jiwa penduduk lokal kehilangan mata pencaharian. Kebakaran hutan dan lahan terjadi sepanjang tahun, sejak 1997 hingga sekarang. Banjir pasang surut jaraknya semakin lama dan dalam, kering terjadi dimana-mana. Rawan pangan beresiko terjadi sejak mereka kehilangan sumber pangan dan mata pencaharian. Juga ancaman menjadi pengangguran karena kebun dan tanahnya tergusur. Proyek ini salah satu dampak dari serangkaian pembangunan yang eksploitasi sumberdaya alam yang sangat berlebihan untuk memasok kebutuhan bahan-bahan mentah negara-negara kaya seperti Eropa, Amerika, Australia, Kanada, Jerman, Jepang, mulai dari hasil hutan, bahan tambang yang terdapat di daratan Borneo, membawa dampak kerusakan sumberdaya alam dan kehancuran kehidupan suku-suku Bangsa Dayak di Pulau Borneo. Kegagalan pembangunan global yang di prakarsai oleh negara-negara maju, membawa dampak berubahnya iklim dunia dan menyumbangkan kesengsaraan bagi penduduk-penduduk pribumi, termasuk pulau Borneo.

Proyek ini malapetaka bagi rakyat dan kedamaian penghuni ekosistem gambut. Kini, kawasan-kawasan gambut sejak transisi ke orde reformasi terancam menjadi konversi areal perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, Pertambangan. Selain itu, solusi iklim gambut untuk penyerap karbon (carbon zink) –jasa lingkungan dari fungsi hutan. Inilah salah satu yang ditawarkan Indonesia dalam kesepakatan UNFCCC di Bali 2007, lewat REDD (pengurangan dari penyusutan dan pengrusakan hutan). Skema imbal jasa bagi hibah negara-negara maju (emitor karbon) yang tidak mau menurunkan konsumsi energinya (fossil fuel).

Upaya lain yang dilakukan masyarakat local di areal gambut yang mendapat pendampingan dan asistensi teknis Yayasan Petak Danum di Kapuas, sejak tahun 1999 sampai saat ini (2009) telah melakukan penyelamatan gambut di Kalimantan Tengah, dengan cara; penanaman pohon hutan gambut (50.000 ha), rehabilitasi kebun rotan beserta tanaman hutan rambatan (13.000 ha), kebun karet (5.000 ha), kebun purun, kolam ikan tradisional, mencetak sawah tradisional, menjaga hutan adat 200.000 hektar, membangun sekolah gambut dan melakukan dialog strategis dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat serta jaringan kerja NGO di dalam dan luar negeri.

Belajar dari pengalaman dan penderitaan bersama, masyarakat local, yayasan Petak Danum, dan mitra kerja di tingkat basis menghargai upaya lain dalam arena forum-fourm international melalui UNFCCC di Bon Jerman Juni 2009, Bangkok International Meeting UNFCC 29 September 2009 – 09 october 2009 dan rangkaian Copenhagen Desember 2009. Tetapi, semua skema-skema penyelesaian krisis iklim akibat dampak gagalnya pembangunan global, menawarkan skema-skema REDD, CDM, Energy Bersih. Skema ini pada dasarnya tidak pernah mengakui hak-hak dan pengetahuan masyarakat local dalam pengelolaan lahan dan hutan gambut berbasis kearifan tradisional yang sudah teruji puluhan dan bahkan ratusan tahun lamanya. Dalam arena forum UNFCCC COP 15 di Denmark, tetap saja keberadaan masyarakat local tidak mendapat pengakuan atas sumbangannya untuk solusi krisis iklim global melalui praktek penyelamatan gambut secaratradisional. Sehigga, upaya lain bagi masyarakat local akan dilakukan melalui upacara adat “MANYANGGAR” (ruatan bumi). Ini bentuk jalan lain bagi masyarakat dalam memgkomunikasikan kepada Sang Pencipta, Semesta Alam, ketika komunikasi masyarakat local kepada pemerintah, dunia international tidak mendapat pengakuan. “MANYANGGAR” adalah pilihan tepat bagi masyarakat local untuk memberikan seruan kepada semua penghuni bumi dan pencipta alam semesta, bahwa, masyarakat telah menyumbang solusi krisis iklim global akibat kegagalan Negara maju membangun peradaban di muka bumi ini.

Manyanggar bertujuan untuk: 1) Mengkomunikasikan hak-hak masyarakat ngaju atas pengelolaan hutan dan lahan gambut kepada Sang Pencipta, Alam Semesta dan sesama manusia. 2) Mengkonsolidasikan masyarakat antar desa antar wilayah secara bersama dalam penyelamatan Gambut untuk keselamatan masyarakat dari generasi ke generasi dan lestarinya sumber-sumber kehidupan. 3) Menyerukan kepada semua pihak dari tingkat local, nasional dan International agar mengakui hak-hak masyarakat local tanpa syarat (afirmatif action) dalam pengelolaan sumberdaya gambut berbasis kearifan tradisional di Kalimantan Tengah sebagai kontribusi atas solusi krisis iklim dunia yang sedang dibicarakan di Kopenhagen Denmark (COP 15 UNFCCC bulan Desember 2009.

Diharapkan agenda manyanggar akan memiliki dampak pada: 1) Terbukanya komunikasi hak-hak masyarakat ngaju atas pengelolaan hutan dan lahan gambut kepada Sang Pencipta, Alam Semesta dan Sesama Manusia, 2) Terkonsolidasikannya masyarakat antar desa antar wilayah secara bersama untuk menyelamatkan gambut dan keselamatan masyarakat dari generasi ke generasi dan lestarinya sumber-sumber kehidupan, 3) Semua pihak dapat mendengar seruan masyarakat local dari tingkat local, nasional dan International untuk pengakuan tanpa syarat (afirmatif action) dalam pengelolaan sumberdaya gambut berbasis kearifan tradisional di Kalimantan Tengah sebagai kontribusi atas solusi krisis iklim global yang sedang dibicarakan di Kopenhagen Denmark (COP 15 UNFCCC Desember 2009)

Pelaksanaan kegiatan manyanggar dilakukan selama 3 (tiga) hari, dimulai tanggal 10 s/d 12 Desember 2009. Hari H manyanggar tanggal 12 Desember 2009. Rangkaian kegiatan lainnya : 1) Pertemuan antar Lembaga Adat/ Tetua kampung (10 Desember 2009), 2) Rehabilitasi Hutan Adat melalui penanaman pohon kehidupan (11 Desember 2009), 3) Musyawarah ARPAG (11 Desember 2009), 4) Manyanggar (Ruatan Bumi) hari H. 10,11 dan 12 Desember 2009, 4) Pendidikan Kader Management Pengelola Gambut (8 – 9 Desember 2009)Tempat penyelanggaraan manyanggar bumi ini di lakukan di sebuah desa antara Pulau Kaladan dan Tarantang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.

Peserta kegiatan manyanggar (ruatan bumi) akan diikuti oleh sebanyak 5.000 – 10.000 warga, terdiri dari; 40 orang ARPAG, 40 wakil dari Lembaga Adat, 200 orang peserta upacara manyanggar dan 5.000 – 10.000 orang warga mengikuti manyanggar hari akhir. Desa-desa yang terlibat sekitar 52 Desa. Peserta wakil dari desa-desa sekitar eks PLG dan sekitarnya dari Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya. Kegiatan ini juga mengundang peserta yang berminat hadir, misalkan dari: Jakarta, Bogor, Banjarmasin, Sampit, Muara Teweh, dan sekitarnya. Pelaksanaan manyanggar dilaksanakan dengan biaya swadaya masyarakat desa-desa, lembaga, organisasi local yang menyumbang berupa natura (beras, ikan, sayuran, gula, kopi, dan perlengkapan manyanggar lainnya yang dibutuhkan). Sedangkan biaya lainnya akan diperoleh dari para pihak baik Instansi pemerintah local, lembaga swadaya masyarakat, personil yang peduli atas pelaksanaan manyanggar ini.

Demikianlah gambaran umum penyelenggaraan upacara adat “MANYANGGAR” dilakukan, agar mendapat perhatian dan dukungan dari semua pihak. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.


Panitia Pelaksana “MANYANGGAR”
Penanggungjawab: MULIADI. SE
Sekretariat Kerja Panitia: Jl. Karuing No. 06 RT. III RW. XVI Kel.Selat Dalam Kec.Selat 73516
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah – INDONESIA Telpon/Fax: 0513-22352
Email : petakdanum@gmail.com - Blog: www. petakdanum.blogspot.com – www.sekolahgambut.blogspot.com

Resolusi Khusus ARPAG Untuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)

Keadilan Untuk Rakyat atas

Skema Penyelesaian Krisis Iklim Global

Sumbangan Inisiatif Masyarakat Lokal

Solidaritas Selamatkan Ekologi Gambut Kalimantan Tengah

Kritik dan Masukan Agenda: “Climate Hearing: Menjawab kebutuhan Lokal dalam

putaran Negosiasi dan Pilihan Mekanisme Pendanaan di Tingkat Nasional”

By; Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG) Kalimantan Tengah - INDONESIA


Membentang hijau nan luas tepat dilalui garis khatulistiwa yang membelah daratan besar pulau Borneo. Pulau yang memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya mulai dari sumberdaya alam hutan, tambang, perairan danau, sungai, perairan pantai dan kelautan memiliki peranan penting dalam pengembangan ekonomi di Indonesia menghasilkan devisa negara paling utama dari sektor hutan, tambang (batu bara, emas, migas dlsb). Eksploitasi sumberdaya alam yang sangat berlebihan untuk memasok kebutuhan bahan-bahan mentah negara-negara kaya seperti Eropa, Amerika, Australia, Kanada, Jerman, Jepang, mulai dari hasil hutan, bahan tambang yang terdapat di daratan Borneo, membawa dampak kerusakan sumberdaya alam dan kehancuran kehidupan suku-suku Bangsa Dayak di Pulau Borneo. Kegagalan pembangunan global yang di prakarsai oleh negara-negara maju, membawa dampak berubahnya iklim dunia dan menyumbangkan kesengsaraan bagi penduduk-penduduk pribumi, termasuk pulau Borneo.

Lahan gambut Indonesia merupakan gambut tropis terluas didunia, sekitar 38 juta hektar (Dephut, 1997). Kekayaan ini sekaligus jadi petaka, pemerintah orde baru mengembangkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar di Kalimantan Tengah melalui Surat Keputusan Presiden No 82 tahun 1996, untuk di cetak menjadi kawasan persawahan bagi kebutuhan nasional. Proyek ini sepertinya tidak banyak mempelajari kondisi gambut dan kehidupan masyarakat lokal. Akibatnya, proyek ini bukan nya bermanfaat bagi lingkungan gambut maupun masyarakat lokal, tetapi menjadi bencana yang sengaja di ciptakan. Akibatnya, lebih 82.000 jiwa penduduk lokal kehilangan mata pencaharian, dan ratusan ribu hektar kebun rotan, karet serta puluhan ribu sumur-sumur (beje – kolam ikan tradisinional) hancur tergusur. Kehidupan damai, berubah menjadi konflik, sumber-sumber kekayaan masyarakat hancur oleh kanal-kanal saluran primer dan sekunder, pembabatan hutan secara membabi buta, menggusuran kebun rotan, karet, purun, beje, sungai dan danau-danau. Kebakaran hutan dan lahan terjadi sepanjang tahun, sejak 1997 hingga sekarang. Banjir pasang surut jaraknya semakin lama dan dalam, kering terjadi dimana-mana. Rawan pangan beresiko terjadi sejak mereka kehilangan sumber pangan dan mata pencaharian. Juga ancaman menjadi pengangguran karena kebun dan tanahnya tergusur.

Proyek ini malapetaka bagi rakyat dan kedamaian penghuni ekosistem gambut. Kini, kawasan-kawasan gambut sejak transisi ke orde reformasi terancam menjadi (APL) areal penggunaan lain, sebagai areal perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, Pertambangan. Selain itu, solusi iklim gambut untuk penyerap karbon (carbon zink) –jasa lingkungan dari fungsi hutan. Inilah salah satu yang ditawarkan Indonesia dalam kesepakatan UNFCCC di Bali 2007, lewat REDD (pengurangan dari penyusutan dan pengrusakan hutan). Skema imbal jasa bagi hibah negara-negara maju (emitor karbon) yang tidak mau menurunkan konsumsi energinya (fossil fuel). Calakanya, dengan alasan energi alternatif, malah akan diperuntukkan sebagai kawasan perluasan perkebunan sawit skala besar. Tetapi, di wilayah kawasan ini terdapat sejumlah bahan tambang mulai dari minyak, gas, pasir kuarsa, batu bara dan emas putih. Dimana beberapa Negara sudah mulai melirik untuk investasi industry konservasi yang menjual solusi alternative menyelamatkan bumi dari perubahan iklim.

Belajar dari pengalaman dan penderitaan bersama, keyakinan kami, bahwa ARPAG tetap menghargai upaya lain dalam arena forum-fourm international melalui UNFCCC di Bon Jerman Juni 2009, Bangkok International Meeting UNFCC 29 September 2009 – 09 october 2009 dan rangkaian Copenhagen Desember 2009. Atas dasar penyelidikan, berbagi pengalaman, bekerja dengan semua komponen jaringan kerja lingkungan hidup baik di Indonesia maupun di dunia International. Atas dasar mandat anggota-anggota ARPAG yang beranggotakan 7.000 orang; petani, nelayan, pengrajin rotan, petani karet yang merupakan masyarakat adat tersebar 3 Kabupaten di Kalimantan Tengah. ARPAG sebagai Organisasi Rakyat yang berdaulat dan dilindungi oleh UUD 1945, dalam arena forum UNFCCC secara tidak langsung tetap berpartisipasi secara aktif untuk memastikan forum International yang sedang berlangsung akan memberikan dampak bagi kehidupan kami dan generasi masa depan, maka ARPAG menilai dan memberikan sikap serta pandangan atas putaran International Meeting UNFCCC menuju Copenhagen Desember 2009:

1. ARPAG pada prinsipnya menghargai apa yang sedang di upayakan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan dunia International untuk menyelamatkan Bumi, sebagai proses belajar bersama untuk mencari solusi krisis iklim, maka ARPAG mendesak Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia (DNPI) serta UNFCCC forum segera mengakui inisiatif-inisiatif local dalam penyelamatan bumi, khususnya di wilayah Gambut Kalimantan Tengah, pada umumnya di wilayah penduduk pribumi Bangsa Indonesia dari seluruh Nusantara. Karena penyelesaian krisis iklim dunia, bukan saja milik Akademisi, Pemerintah, Sektor Swasta, tetapi rakyat pun harus mendapat pengakuan tanpa syarat (afirmative action) bila memiliki skema lain diluar forum UNFCCC.



2. ARPAG melalui Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) agar segera mendesak Negara-negara kaya Emitor Karbon (C02) seperti; Amerika, Kanada, Australia, Rusia, Inggris, Prancis, dan negara Annex-1, menurunkan emisi karbonnya sampai “nol” agar keselamatan bumi dan rakyat dapat terjamin secara bergenerasi. ARPAG menganalogikan: Negara maju membuat dosa, rakyat Indonesia yang mencuci dosanya. Ini bentuk ketidakadilan dan pelanggaran atas hak-hak hidup berbangsa dan bernegara yang merdeka dilindungi oleh UUD 1945.

3. ARPAG bersama anggotanya di 52 Desa dan 7.000 anggotanya, di bantu pendampingan dan asistensi teknis Yayasan Petak Danum di Kapuas, sejak tahun 1999 sampai saat ini (2009) telah melakukan penyelamatan gambut di Kalimantan Tengah, dengan cara; penanaman pohon hutan gambut (50.000 ha), rehabilitasi kebun rotan beserta tanaman hutan rambatan (13.000 ha), kebun karet (5.000 ha), kebun purun, kolam ikan tradisional, mencetak sawah tradisional, menjaga hutan adat 200.000 hektar, membangun sekolah gambut dan melakukan dialog strategis dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat serta jaringan kerja NGO di dalam dan luar negeri. Ini upaya nyata, tidak sekedar omong dan kata-kata belaka.



4. ARPAG mendesak kepada delegasi Indonesia baik dari wakil Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perusahaan Swasta pada forum Perubahan Iklim yang sedang mempersiapkan agenda negosiasi Perubahan Iklim di Copenhagen Desember 2009, agar menghentikan negosiasi perubahan Iklim yang tidak mengakui hak-hak dan kedaulatan masyarakat lokal di Kalimantan Tengah khususnya, pada umumnya di seleuruh Nusantara. Pengakuan tanpa syarat bagi hak-hak masyarakat local dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah mutlak bagi bangsa yang merdeka terbebas dari segala bentuk penjajahan baik oleh pemerintahnya sendiri maupun oleh Bangsa asing atas nama proyek-poryek konservasi dan krisis iklim dunia.

5. ARPAG mendesak Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) agar memiliki sikap tegas dan tidak mendua atas solusi krisis iklim, dan segera melakukan penghentian pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayah2 gambut di Kalimantan Tengah khususnya di eks PLG, termasuk juga di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Papua. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit akan memperparah kerusakan gambut dan iklim global. Dimana perusahaan-perusahaan besar milik Negara maju bercokol disana. Di eks PLG sekitar + 360.000 hektar kebun sawit mendapat areal di gambut, Hutan Tanaman Industri. Ini membuktikan ketidak tegasan pemerintah dan DPNI atas solusi krisis iklim.


6. ARPAG menolak semua bentuk bantuan asing untuk menyelamatkan gambut melalui cara pendanaan hasil perdagangan karbon maupun utang luar negeri, melalui skema REDD dan carbon offset. Karena bantuan tersebut memiliki dampak yang cukup besar terhadap rakyat dan sumber kekayaan gambut di Kalimantan Tengah. Atas nama bantuan, pihak asing akan leluasa untuk menguasai, mengatur, mendikte dan mempersempit peran dan fungsi pemerintah serta negara untuk melindungi hak-hak rakyat dan sumber kekayaan gambut, mereka akan mengeruk dan mengeksploitasi demi keuntungan pihak asing. ARPAG mendesak Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia (DNPI) mengakui skema lain (diluar REDD dlsb) dari inisiatif rakyat yang sedang diupayakan ARPAG di Kalimantan Tengah dan masyarakat pribumi (adat) lainnya di seluruh Nusantara. Skema-skema lain di luar UNFCCC akan lebih murah, terbebas dari utang dan terhindar praktek-praktek korupsi.


7. ARPAG masih tetap bertekad untuk tetap melindungi hutan dan lahan gambut wilayah adat berdasarkan kelola Gong berbunyi dan ayam berkokok sebagai dasar pijakan kearifan lokal yang dapat diketahui dari 5 kilometer kiri sungai dan 5 kilometer kanan sungai disemua wilayah Desa-desa dan antar desa dalam Daerah Aliran Sungai, Danau-Danau pada ekosistem gambut. Upaya perlindungan ini untuk menyelamatkan ruang kehidupan masyarakat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, hokum dan menyumbang penyerapan karbon untuk keselamatan masyarakat di muka bumi ini. Upaya yang dilakukan ARPAG bersama anggota anggotanya untuk menanam pohon hutan gambut, rotan, karet, melindungi danau-danau, sungai-sungai dan hutan adat di wilayah kelola gambut Kalimantan Tengah – Indonesia.

Tanah air dan bangsa ini bukan milik asing, tumpah tanah, air dan darah ini telah dipertaruhkan 350 tahun menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat atas kekayaan alamnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia. Jangan berikan tanah, air dan darah bangsa ini ke pihak asing, hanya karena uang dan tekanan politik asing.

Kuala Kapuas, 18 November 2009

Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG)

Muliadi. SE

Sekretaris Jenderal

Sekretariat Kerja ARPAG:

Jl. Karuing No. 06 RT. III RW. XVI Kelurahan Selat Dalam Kecamatan Selat 73516

Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah – INDONESIA - Telpon/Fax: 0513-22352, mobile phone: 081352761222

Email : petakdanum@gmail.com, Blog: www. petakdanum.blogspot.com www.sekolahgambut.blogspot.com,

www.rotanpetakdanum.blogspot.com

Surat Terbuka ARPAG Untuk International Meeting UNFCCC Bangkok 2009

Inisiatif Masyarakat Lokal
Solidaritas Selamatkan Ekologi Gambut

International Meeting UNFCC - Bangkok 29 September – 9 October 2009

By; Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG) Kalimantan Tengah - INDONESIA


Membentang hijau nan luas tepat dilalui garis khatulistiwa yang membelah daratan besar pulau Borneo. Pulau yang memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya mulai dari sumberdaya alam hutan, tambang, perairan danau, sungai, perairan pantai dan kelautan memiliki peranan penting dalam pengembangan ekonomi di Indonesia menghasilkan devisa negara paling utama dari sektor hutan, tambang (batu bara, emas, migas dlsb). Eksploitasi sumberdaya alam yang sangat berlebihan untuk memasok kebutuhan bahan-bahan mentah negara-negara kaya seperti Eropa, Amerika, Australia, Kanada, Jerman, Jepang, mulai dari hasil hutan, bahan tambang yang terdapat di daratan Borneo, membawa dampak kerusakan sumberdaya alam dan kehancuran kehidupan suku-suku Bangsa Dayak di Pulau Borneo. Kegagalan pembangunan global yang di prakarsai oleh negara-negara maju, membawa dampak berubahnya iklim dunia dan menyumbangkan kesengsaraan bagi penduduk-penduduk pribumi, termasuk pulau Borneo. Di Kalimantan Tengah, konversi hutan gambut untuk perkebunan sawit, HTI dan tambang setiap tahun meluas dan terjadi kerusakan ekologi gambut. Konversi gambut untuk proyek-proyek raksasa di ciptakan hanya untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah Negara-negara kaya. Salah satu contoh di Kalimantan Tengah.

Lahan gambut Indonesia merupakan gambut tropis terluas didunia, sekitar 38 juta hektar (Dephut, 1997). Kekayaan ini sekaligus jadi petaka, sejak peperintah orde baru mengmbangkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta hektar di Kalimantan Tengah, untuk di cetak menjadi kawasan persawahan. Bagi masyarakat lokal, gambut sebagai sumberdaya lokal di ketahui sejak lama terbentuk, lebih dari ribuan tahun lalu, sumber ini merupakan penopang penghidupan masyarakat lokal. mereka adalah suku dayak Ngaju secara turun temurun melakukan pemanfaatan dan pelestarian untuk kebutuhan hidup keluarga, mulai dari mengambil hasil hutan non kayu, kebun rotan, kebun karet, kebun purun, bercocok tanam padi sawah, mencari ikan di sungai, danau, tatah, handil, beje (kolam ikan di hutan gambut) dan berburu hewan mendapat ijin dari adat setempat. Hasil-hasil sumberdaya ini untuk kebutuhan keluarga mulai dari pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan dan lain sebagainya. Sumber-sumber gambut yang ada pemanfaatan dan pelestariannya di lakukan secara bersama diatur oleh sebuah aturan lokal (hukum adat).

Selain kaya keragaman hayati hayati, setengah dari seluruh kawasan merupakan sungai-sungai, danau-danau dan vegetasi hutan rawa endemik. Hutan rawa gambut ada yang dangkal, juga ada yang dalam dengan keunikan airnya yang berwarna hitam. Oleh karenanya tak jarang di kenal sebagai ekosistem air hitam. Kekayaan gambut selama ini, memberikan kecukupan hidup sosial, ekonomi, budaya, hingga berkembangnya hukum lokal penduduk setempat. Itu berkembang sejak lama, bahkan menjadi strategi politik dimasa penajajahan Belanda. Masyarakat setempat, mulai di usik dengan kehadiran mega proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar, melalui Surat Keputusan Presiden No 82 tahun 1996. Luasan kawasan yang akan dijadikan proyek mencapai 1 juta hektar, tersebar di kabupaten Kapuas, Pulang Pisau dan Barito Selatan, juga Kotamadya Palangkaraya. Kehadiran proyek ini, alasanya untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan beras di Indonesia.

Proyek ini sepertinya tidak banyak mempelajari kondisi gambut dan kehidupan masyarakat lokal. Akibatnya, proyek ini bukan nya bermanfaat bagi lingkungan gambut maupun masyarakat lokal, tetapi menjadi bencana yang sengaja di ciptakan melalui kebijakan penguasa saat itu. Akibatnya, lebih 82 ribu penduduk lokal kehilangan mata pencaharian, dan ratusan ribu hektar kebun rotan, karet serta puluhan ribu sumur-sumur (beje – kolam ikan tradisinional) hancur tergusur. Kehidupan damai, berubah menjadi konflik, sumber-sumber kekayaan masyarakat hancur oleh kanal-kanal saluran primer dan sekunder, pembabatan hutan secara membabi buta, menggusuran kebun rotan, karet, purun, beje, sungai dan danau-danau. Kebakaran hutan dan lahan terjadi sepanjang tahun, sejak 1997 hingga sekarang. Banjir pasang surut jaraknya semakin lama dan dalam, kering terjadi dimana-mana. Rawan pangan beresiko terjadi sejak mereka kehilangan sumber pangan dan mata pencaharian. Juga ancaman menjadi penganggur karena kebun dan tanahnya tergusur. Proyek ini malapetaka bagi rakyat dan kedamaian penghuni ekosistem gambut.

Kini, kawasan-kawasan gambut terancam menjadi (APL) areal penggunaan lain, sebagai areal penyerap karbon (carbon zink) –jasa lingkungan dari fungsi hutan. Inilah salah satu yang ditawarkan Indonesia dalam kesepakatan UNFCCC di Bali 2007, lewat REDD (pengurangan dari penyusutan dan pengrusakan hutan). Skema imbal jasa bagi hibah negara-negara maju (emitor karbon) yang tidak mau menurunkan konsumsi energinya (fossil fuel). Calakanya, dengan alasan energi alternatif, malah akan diperuntukkan sebagai kawasan perluasan perkebunan sawit skala besar. Tetapi, di wilayah kawasan ini terdapat sejumlah bahan tambang mulai dari minyak, gas, pasir kuarsa, batu bara dan emas putih. Dimana beberapa Negara sudah mulai melirik untuk investasi industri konservasi yang menjual solusi alternative menyelamatkan bumi dari perubahan iklim.
Mempelajari dari pengalaman panjang, kami Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG) merupakan organisasi perjuangan masyarakat local, bertujuan untuk menyelamatkan sumberdaya gambut dan kehidupan rakyat di wilayah Kalimantan Tengah Indonesia, sampai kondisi hari ini berdasarkan pembelajaran, pengkajian secara objektif atas situasi masyarakat lokal di wilayah eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar .

Bersama keyakinan kami, bahwa ARPAG dengan segala upayanya tetap menghargai upaya lain dalam arena forum-fourm international melalui UNFCCC di Bon Jerman Juni 2009 dan yang saat ini sedang berlangsung di Bangkok pada International Meeting UNFCC 29 September 2009 – 09 october 2009 bagian dari rangkaian Copenhagen Desember 2009. Atas dasar penyelidikan, berbagi pengalaman, bekerja dengan semua komponen jaringan kerja lingkungan hidup baik di Indonesia maupun di dunia International. Atas dasar mandat anggota-anggota ARPAG yang tersebar di 52 Desa yang beranggotakan 7.000 orang; petani, nelayan, pengrajin rotan, petani karet yang merupakan masyarakat adat tersebar 3 Kabupaten di Kalimantan Tengah. ARPAG sebagai Organisasi Rakyat yang berdaulat dan dilindungi oleh UUD 1945, dalam forum UNFCCC tetap berpartisipasi secara aktif untuk memastikan forum International yang sedang berlangsung akan memberikan dampak bagi kehidupan kami dan generasi masa depan, maka ARPAG menilai dan memberikan sikap serta pandangan atas putaran International Meeting UNFCC di Bangkok saat ini menuju Copenhagen Desember 2009:

1. ARPAG pada prinsipnya menghargai apa yang sedang di upayakan oleh dunia International untuk menyelamatkan Bumi, sehingga ARPAG secara sadar dan bertanggungjawab melakukan monitoring, komunikasi dan mengambil sikap atas apa yang sedang terjadi pada forum International UNFCCC, sebagai proses belajar bersama untuk mencari solusi terbaik dan UNFCC forum segera mengakui inisiatif-inisiatif local dalam penyelamatan bumi serta membiarkan proyek-proyek penggusuran masyarakat local atas nama konservasi dan solusi krisis iklim.

2. ARPAG mendesak Negara-negara kaya Emitor Karbon (C02) seperti; Amerika, Kanada, Australia, Rusia, Inggris, Prancis, dan negara Annex-1, menurunkan emisi karbonnya sampai “nol” agar keselamatan bumi dan rakyat dapat terjamin secara bergenerasi.

3. ARPAG bersama anggotanya di 52 Desa dan 7.000 anggotanya, di bantu pendampingan dan asistensi teknis Yayasan Petak Danum di Kapuas, sejak tahun 1999 sampai saat ini (2009) telah melakukan penyelamatan sumberdaya gambut dengan kerangka kerja inisiatifnya di Kalimantan Tengah, melalui penanaman pohon hutan gambut (50.000 ha), rehabilitasi kebun rotan (13.000 ha), kebun karet (5.000 ha), kebun purun, kolam ikan tradisional, mencetak sawah tradisional, menjaga hutan adat 200.000 hektar, membangun sekolah gambut dan melakukan dialog strategis dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat serta jaringan kerja NGO di dalam dan luar negeri.

4. ARPAG mendesak kepada delegasi Indonesia baik dari wakil Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perusahaan Swasta pada forum Perubahan Iklim yang sedang berada di Bangkok Inertantional Meeting UNFCC, agar menghentikan negosiasi kerangka kerja perubahan Iklim yang tidak mengakui hak-hak dan kedaulatan masyarakat lokal di Kalimantan Tengah khususnya, pada umumnya di seleuruh Nusantara. Hak-hak atas kedaulatan rakyat di wilayah sumberdayanya dengan apapun bentuk pengelolaan berbasis tata aturan lokal (adat) merupakan bagian dari sejarah dan kedaulatan Bangsa yang Merdeka terbebas dari segala bentuk penjajahan baik oleh pemerintahnya sendiri maupun oleh Bangsa asing atas nama proyek-poryek konservasi.

5. ARPAG dengan tegas menolak dan membatalkan usulan kawasan konservasi Taman Nasional MAWAS seluas + 377.000 hektar, rencana investasi pertambangan migas, perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI) di eks PLG 1 juta hektar. Proyek ini mengancam keberadaan hak-hak masyarakat lokal atas kekayaan sumberdaya gambut. Proyek ini beroperasi melakukan tindakan intimidasi dengan membawa aparat keamanan (polisi dan tentara) terhadap masyarakat lokal untuk melancarkan proyek. Padahal dalam kawasan calon konservasi tersebut, terdapat potensi tambang Migas yang pernah di eksplorasi oleh Pemerintah Belanda tahun 1930.

6. ARPAG dengan tegas menolak proyek pembangunan perkebunan kelapa sawti sekala besar (+ 360.000 hektar) di eks PLG. Proyek perkebunan besar ini akan mengancam tata kehidupan dan ekosistem gambut baik jangka pendek maupun jangka panjang. Disadari benar oleh ARPAG, bahwa proyek ini akan memasok bahan mentah CPO ke negara-negara maju untuk kebutuhan bahan baku pangan maupun biofeul (energy nabati). Proyek ini akan menggusur hak-hak rakyat, berupa kebun karet, kebun rotan, hutan adat,kolam ikan dlsb.

7. ARPAG menolak semua bentuk bantuan asing untuk menyelamatkan gambut melalui cara pendanaan hasil perdagangan karbon maupun utang luar negeri, melalui skema REDD dan carbon offset. Karena bantuan tersebut memiliki dampak yang cukup besar terhadap rakyat dan sumber kekayaan gambut di Kalimantan Tengah. Atas nama bantuan, pihak asing akan leluasa untuk menguasai, mengatur, mendikte dan mempersempit peran dan fungsi pemerintah serta negara untuk melindungi hak-hak rakyat dan sumber kekayaan gambut, mereka akan mengeruk dan mengeksploitasi demi keuntungan pihak asing.
8. ARPAG dengan segala bentuk aksi dan tindakannya, mendesak forum COP 15 UNFCCC segera menghentikan negosiasi-negosiasi yang berkedok konservasi alam untuk perubahan iklim, padahal dibalik negosiasi tersebut ada negosiasi proyek-proyek besar pertambangan, perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri yang akan menambah semakin rusaknya bumi ini. Negosiasi-negosiasi yang dilakukan telah memaksa Negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk menjadi negara-negara jajahan baru atas penguasaan sumber-sumber alam melalui proyek konservasi.

9. ARPAG masih tetap bertekad untuk tetap melindungi hutan dan lahan gambut wilayah adat berdasarkan kelola Gong berbunyi dan ayam berkokok sebagai dasar pijakan kearifan lokal yang dapat diketahui dari 5 kilometer kiri sungai dan 5 kilometer kanan sungai disemua wilayah Desa-desa dan antar desa dalam Daerah Aliran Sungai, Danau-Danau pada ekosistem gambut. Upaya perlindungan ini untuk menyelamatkan ruang kehidupan masyarakat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, hukum dan menyumbang penyerapan karbon untuk keselamatan masyarakat di muka bumi ini. Upaya yang dilakukan ARPAG bersama anggota anggotanya untuk menanam pohon hutan gambut, rotan, karet, melindungi danau-danau, sungai-sungai dan hutan adat di wilayah kelola gambut Kalimantan Tengah – Indonesia.

Kuala Kapuas, 01 October 2009
Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG)

Muliadi. SE
Sekretaris Jenderal

Sekretariat Kerja ARPAG:
Jl. Karuing No. 06 RT. III RW. XVI Kelurahan Selat Dalam Kecamatan Selat 73516
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah – INDONESIA Telpon/Fax: 0513-22352, mobile phone: 081352761222
Email : petakdanum@gmail.com
Blog: www. petakdanum.blogspot.com
www.sekolahgambut.blogspot.com,
www.rotanpetakdanum.blogspot.com

Rabu, 08 April 2009

Perdagangan Karbon di Lahan dan Hutan Gambut

Perdagangan Karbon di Lahan dan Hutan Gambut
Sebuah Proyek atau Ancaman Bagi Hak Masyarakat Adat atas Tanah dan Hutan di Kalimantan Tengah


Yayasan Petak Danum (YPD) salah satu lembaga swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang advokasi dan penyadaran masyarakat di wilayah kawasan Gambut, berdiri sejak tahun 1998, diawali dari pertemuan antar masyarakat korban proyek PLG 1 juta hektar. Kegiatan YPD diantaranya adalah; Memfasilitasi penguatan masyarakat melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan dibidang perkebunan, perikanan, kerajinan, budidaya pertanian dan lainnya. Sampai saat ini ada sekitar ± 500 orang telah difasilitasi pelatihan dan ketrampilan. Pada bulan Desember 2007, YPD telah memfasilitasi musyawarah rakyat pengelola gambut, dan akhirnya muncul organisasi rakyat yang diberi nama ARPAG (Aliansi Rakyat pengelola Gambut).

Dalam Resolusi ARPAG, yang dideklrasikan tanggal 8 Desember 2007 di Kuala Kapuas, bahwa perubahan iklim global merupakan salah satu kegagalan pembangunan di dunia yang memberikan sumbangan kerusakan alam di muka bumi ini. Perubahan iklim ini disebabkan sumbangan industri-industri di negara maju yang berdampak pada kehidupan masyarakat di negara berkembang, salah satu korbanya adalah masyarakat adat di Pulau Borneo. Tanggungjawab atas kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup ini tidak menjadi beban negara berkembang dan rakyatnya. Tetapi seharusnya negara maju bertanggungjawab atas perubahan iklim global ini. ARPAG Kalimantan Tengah, menuntut tanggungjawab negara maju untuk segera mengurangi sumbangan pencemaran udara, tingkat konsumsi, dan menyelesaikan sengketa atas konflik pengelolaan sumberdaya alam di negara dunia ketiga yang hampir semua di kuasai oleh pemodal asing. Ketidakadilan iklim global yang dilakukan oleh negara maju kepada negara berkembang atas perubahan iklim yang sekarang terjadi, sehingga masyarakat adat menjadi korban dari adanya kerusakan iklim global. Misalnya: masyarakat adat di Kalimantan Tengah tidak boleh membuka perladangan (tanam padi) untuk kebutuhan bahan pangan beras, melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2007 tentang larangan membakar, ini merupakan ancaman bagi keamanan pangan (beras) masyarakat adat Kalimantan Tengah.

Tanggungjawab kerusakan Lingkungan dunia atas industri global adalah bukan negara berkembang (Indonesia) khususnya rakyat Pulau Borneo, tetapi negara kaya harus bertanggungjawab atas kerusakan dimuka bumi. Adanya ketidakadilan negara maju dan negara berkembang dari adanya perubahan iklim yang sekarang terjadi, sehingga masyarakat adat menjadi korban dari adanya kerusakan iklim global.

Gagalnya Regime Global
Krisis energi global adalah persoalan ekonomi politik yang merupakan soal penguasaan akses ekonomi, alokasi sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi. Ini adalah soal siapa yang memperoleh manfaat (keuntungan), siapa yang menanggung biaya eksternalitas, diantaranya adalah biaya kerusakan/pencemaran lingkungan. Jadi disimpulkan Krisis lingkungan global adalah soal tatanan sosial-ekonomi yang tidak adil.

Secara umum sebagian besar penduduk negara –negara kaya dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang tinggi berkat penghisapan terhadap kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara selatan atau negara yang lebih miskin, serta terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya. Gaya hidup dan pola konsumsi merekalah yang seharusnya bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup dan tatanan sosial akibat eksploitasi yang membabi buta di negara-negara yang menjadi sumber penghisapan.

Perubahan iklim merupakan hasil persamaan yang kompleks dari gagalnya model pembangunan skala global. karena itu setiap upaya untuk menghindari pemanasan global dan perubahan iklim serta upaya-upaya beradaptasi pada kondisi atmosferik yang berubah juga tidak sederhana. Melihat kembali persoalan hubungan antar bangsa, negara, dan individu yang terjadi selama berabad-abad dan tidak kunjung berubah, tidaklah layak menafikan kondisi ketidak adilan yang masih terus menerus terjadi.

PLG dan REDD; Solusi Bagi Masyarakat Adat
Proyek Lahan Gambut 1 juta hektar telah berlalu, mengakibatkan dampak kerusakan dan kemiskinan cukup parah ditingkat masyarakat. Issue perubahan iklim yang lebih memfokuskan diri di lahan dan hutan gambut sebagai bagian proyek yang dapat menyerap karbon, maka Indonesia menawarkan proyek REDD. Proyek ini atas desakan negara kaya ataupun bank dunia. Rendahnya martabat Bangsa Indonesia di pentas global ini ditunjukkan melalui proposal REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia), Mekanisme ini menegaskan pemerintah untuk mengemis kepada negara-negara maju dalam memperbaiki kondisi hutan Indonesia, maka tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Mengapa demikian? Karena negara-negara maju juga memiliki tanggung jawab besar ketimbang ‘membagi’ uang receh kepada negara-negara berkembang, seperti Indonesia, untuk menjaga kelestarian hutannya, sementara mereka terus memproduksi karbonnya dalam jumlah yang lebih besar.”

Alasan Pokok :
Pertama; REDD tak lebih dari upaya menutup akses masyarakat sekitar dan di dalam hutan untuk mengambil manfaat dari hutan berdasar hukum adat yang mereka warisi secara turun-temurun.

Kedua, REDD tak lebih dari kesempatan mensubsidi sektor privat dan korporasi, yang pada hakikatnya merekalah yang bertanggung jawab atas deforestasi di Indonesia.

Ketiga, REDD akan menjadi alat konsolidasi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan dan pertambangan.

Keempat, REDD merupakan wujud penyederhanaan dan kedangkalan pikir. Betapa tidak, hutan adalah ekosistem yang sangat kompleks, dan memiliki nilai penting bagi kehidupan umat manusia, lebih dari sekadar transaksi ekonomis jual-beli karbon.

Proyek REDD akan Menghilangkah Hak Rakyat Atas Tanah dan Hutan Adat
Bila proyek REDD ini diterima oleh masyarakat adat, apapun alasannya, maka, masyarakat adat jangan bicara atau menuntut tanah dan hutan adat. Karena dalam implementasi REDD, hak-hak adat tidak diakui, karena REDD akan dibiayai oleh perusahaan dan atau Negara maju, sehingga, REDD salah satu jalan masuk untuk menghilangkan hak-hak adat atas tanah, hutan adat dan sumberdaya alam yang ada di desa dan antar desa.

Sehingga, pertanyaannya adalah : apakah masyarakat adat akan menerima konsep dan operasional REDD ? Bila tidak, langkah apa yang akan diambil bersama agar hak-hak tanah adat, hutan adat serta sumberdaya alam yang lainnya tidak hilang ? Masyarakat adat disekitar dan korban PLG 1 juta hektar, tanpa REDD juga sudah melakukan rehabilitasi lahan dan hutan adatnya secara swadaya. Inisiatif ini penting untuk diperjuangkan agar mendapat pengakuan dan penghargaan sebagai warga negara yang bermartabat. Misalnya masyarakat di Desa Mahajandau, Sei Jaya, Bakuta, Pulau Kaladan, Mantangai, Sei Ahas, Katunjung, Tarantang, Dusun Talekung Punei, telah melakukan penanaman pohon karet seluas 1.640 Hektar, kebun rotan seluas 5.525 hektar, membangun persawahan seluas 3.430 hektar, kebun purun seluas 481 hektar, rehabilitasi hutan dengan berbagai jenis pohon lokal seperti pohon pantung, muhur, blangiran, sungkai, dan lain sebagainya seluas ± 1.758 Hektar serta membuat dan memulihkan kembali ribuan beje-beje yang telah hilang dan rusak. Inisiatif ini lebih baik dari pada konsep REDD yang mengancam hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan, beje, Sungai, handil dan tatah yang akan dihilangkan. (Muliadi/Doc.YPD April 2009*)

Selasa, 07 April 2009

PLG Terancam Gagal Oleh Kehadiran Perkebunan Kelapa Sawit

Rehabilitasi PLG Terancam Gagal

Pemerintah Daerah Terancam Dipidana Terkait Izin Perkebunan Sawit

PALANGKA RAYA- Proyek Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah (Kalteng), terancam gagal. Pasalnya, sejumlah Departemen terkait menolak melaksanakan proyek tersebut, sebelum perkebunan sawit milik swasta yang berada di kawasan lahan gambut tersebut di batalkan atau di pindahkan. Anggaran Rp 9,5 trilyun yang sudah disiapkan tidak akan dikucurkan, karena pelaksanaan proyek satu juta hektar lahan gambut tersebut, sudah tidak sesuai dengan Instruksi Presiden No. 2 tahun 2007 tentang Rehabilitasi dan Revitalisasi Lahan Gambut.

Demikian antara lain hasil pertemuan antara Chrys Kelana, Calon anggota DPR RI dari Partai Golkar Nomor Urut 4, dengan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, H. Paskah Suzetta, pertengahan bulan Maret lalu. Untuk mengatasi hal tersebut, Chrys Kelana yang juga menantu mantan Gubernur Kalteng, Tjilik Riwut, mengusulkan agar segera diadakan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, jangan sampai anggaran yang sudah disediakan untuk proyek tersebut tidak termanfaatkan, sebab rakyat Kalteng sangat membutuhkan. ”Pemerintah Daerah Kalteng harus lebih memperhatikan kepentingan rakyat daripada kepentingan beberapa pengusaha perkebunan sawit milik swasta yang sudah menduduki areal lahan gambut tersebut,” ujar Chrys Kelana, dalam keterangan persnya di Palangka Raya, Rabu (1/4) kemarin. Dikemukakannya, kalau masalah ini berlarut-larut, maka proyek Rehabilitasi dan Revitalisasi Lahan Gambut tersebut akan gagal sehingga lahan gambut yang rusak akan terbengkalai dan rencana memperbaiki kehidupan rakyat di lahan gambut juga gagal. Selain itu, kerusakan lahan gambut akan menjadi perhatian dunia internasional, sehingga Indonesia akan dikecam karena ketidak mampuan melakukan rehabilitasi lahan gambut yang sudah rusak. Ini akan berpengaruh kepada bantuan luar negeri. ”Pemerintah Daerah harus mengatakan yang sebenarnya kepada rakyat Kalteng, jangan menutup nutupi persoalan sebenarnya. Saat ini dikesankan, kesalahan utama adalah pada pemerintah pusat yang seolah olah tidak menepati janjinya, padahal kenyataannya, justru pemerintah daerah yang melanggar komitmennya sendiri,” ungkapnya, seraya menimpali.”Beberapa masyarakat petani di Kalteng, misalnya petani di daerah Kapuas, Pulang Pisau dan Kalampangan, Palangka Raya, mereka minta agar pemerintah pusat menepati janjinya. Persepsi ini seharusnya diluruskan, supaya masalahnya tidak semakin kusut,” timpal mantan wartawan Kompas ini.

Dia mengutarakan, dalam pertemuannya dengan Mentri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPENAS, Paskah Suzetta, menyatakan terkejut, ketika tim Bappenas dengan tim ahli dari Belanda, meninjau lokasi lahan gambut di Kalimantan Tengah, menemukan bahwa areal tersebut sudah banyak sekali perkebunan kelapa sawit milik swasta. Diperkirakan sudah lebih dari 391 ribu hektar kebun kelapa sawit.
”Padahal sejak awal sudah disepakati oleh pemerintah daerah kalimantan Tengah, bahwa tidak ada pemberian izin perkebunan kelapa sawit. Sementara kalau ada izin perkebunan kelapa sawit yang sudah terlanjur, yaitu sebelum inpres diterbitkan tanggal 16 Maret 2007, dicabut kembali izinnya atau dipindahkan lokasinya,” ucap Chrys Kelana, seraya mengutip ungkapan Paskah.
Lanjutnya, temuan tim BAPPENAS tersebut sangat mengejutkan karena sama sekali tidak pernah dilaporkan oleh pemerintah daerah Kalteng. Akibatnya, setelah penemuan tersebut, maka BAPPENAS kemudian menghentikan kelanjutan proyek revitalisasi lahan gambut. Kalau Bappenas terus melanjutkan proyek tersebut, akan terkena pidana karena melanggar Instruksi Presiden. Ini berarti, pemerintah daerah Kalteng yang justru telah melanggar Inpres no. 2 tahun 2007. ”Namun kesalahan tentu bukan di Gubernur Kalteng, Agustin Teras Narang, karena sebagai gubernur dia tidak memiliki hak memberikan izin. Semua izin perkebunan kelapa sawit itu tentunya diberikan oleh pemerintah daerah tingkat dua,” imbuh Chrys Kelana, kembali mengutip pernyataan Paskah.
Ditempat terpisah, Gubernur Kalteng, Agustin Teras Narang, mengakui dikawasan Proyek Rehabilitas dan Revitalilasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut, saat ini terdapat sekitar 23 izin perkebunan kelapa sawit dan karet dengan total luas lahan kurang lebih 366 ribu hektar, padahal dalam Inpres hanya diizinkan 10 ribu hektar untuk sawit dan 7500 hektar untuk karet. Terkait dengan masalah tersebut, Gubernur Kalteng telah mengirim surat meminta arahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam suratnya tersebut, Gubernur Kalteng, mengharapkan dapat segera memperoleh keputusan yang tentunya saling menguntungkan, namun demikian hingga saat ini belum mendapat arahan dari Presiden. ”Mengingat ini menyangkut Inpres dan kenyataan dilapangan tidak sesuai dengan Inpres maka kita mohon kepada Bapak Presiden untuk bisa memberi arahan kepada kita sebagai Kepala Negara, sebagai Kepala Pemerintahan yang tentunya beliau akan memberi arahan dalam waktu yang tidak lama lagi,” pungkas Gubernur Kalteng dalam sambutannya yang disampaikan pada acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Palangka Raya, kemaren. Hadir dalam Musrenbang tersebut, Bupati/Walikota Se-Kalteng, Kepala Bapeda Se-Kalteng, SKPD Se-Kalteng, Tim Penyususn Master Plan Rehabilitasi dan Revitalisasi Lahan Gambut, LSM Lokal, Nasional dan Internasional. Semua Program Terancam Gagal

Menurut Paskah Suzetta, sebagaimana yang dikutip Chrys Kelana, anggaran yang dipersiapkan untuk proyek lahan gambut itu seluruhnya Rp 9,5 trilyun dan sudah disiapkan. Anggaran tersebut rencananya dikucurkan secara bertahap mulai tahun 2007 sebesar Rp 250 milyar, tahun 2008 sebesar Rp 1,74 trilyun, tahun 2009 sekitar Rp 2,9 trilyun, tahun 2010 senilai Rp 3,3 trilyun dan terakhir tahun 2011 sisanya, sekitar Rp 1,2 triliyun.”Namun semua rencana itu batal, karena adanya izin perkebunan kelapa sawit oleh pihak swasta. Lebih tragis lagi, izin yang diberikan tersebut ternyata masih berupa izin prinsip dan belum izin tetap dari Departemen Kehutanan. Terjadi pelanggaran besar besaran di kawsasan lahan gambut, sehingga tentu saja pemerintah tidak berani mengucurkan anggaran yang sudah dipersiapkan,” pungkas Chrys Kelana.
Inpres no. 2 tahun 2007 menginstruksikan kepada 15 lembaga pemerintah yaitu : Menko Bidang perekonomian, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertanian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam negeri, Menteri Keuangan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Ketua Bappenas, Gubernur Kalimantan Tengah, Walikota Palangka Raya, Bupati Kapuas, Bupati Barito Selatan dan Bupati Pulang Pisau, untuk pelaksanaan proyek tersebut, Presiden menunjuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Aburizal Bakrie sebagai ketua, kemudian Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Ketua Bappenas, Paskah Suzetta sebagai Sekretaris lalu Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, sebagai penanggung jawab pelaksanaan proyek secara terpadu di kawasan Pengembangan Lahan Gambut (PLG).
Inpres ini dikeluarkan oleh Presiden tanggal 16 Maret 2007.
Dalam lampiran Inpres tersebut sudah disepakati bahwa areal yang disediakan untuk perkebunan hanya 22.900 hektar yaitu untuk perkebunan karet 7.500 haktar, kelapa 5.000 hektar, kelapa sawit hanya 10.000 hektar dan lainnya (400 hektar) . Kemudian areal persawahan 123 ribu hektar, areal palawija seluas 62 ribu hektar (jagung 28 ribu hektar, kedelai 12 ribu hektar, kacang tanah 4 ribu hektar, kacang hijau 4 ribu hektar, ubi kayu 12 ribu hektar dan ubi jalar 2 ribu hektar). Pengembangan perikanan terdiri untuk budidaya pengembangan ikan papuyu 120 ekor per 45 kolam, ikan patin 300 ribu ekor per 107 kolam, ikan lele 120 ribu ekor per 45 kolam. Peternakan kebon hijuan makanan ternak milik masyarakat 3500 hektar, pengembangbiakan ternak sapi 16 ribu ekor, ternak itik 20 ribu ekor, kerbau 9 ribu ekor, ayam buras 20 ribu ekor, kambing 10 ribu ekor.
”Lagi-lagi semua program tersebut di hentikan karena ketika Tim Bappenas dengan tim belanda yang bertindak sebagai konmsultan, datang ke lokasi lahan gambut, ternyata sudah berdiri pabrik kelapa sawit, bahkan tanaman di lahan gambut sudah dibersihkan untuk tanaman sawit,” imbuhnya.
Chrys Kelana menambahkan, sebagaimana pengakuan Menteri, Paskah Suzetta, dalam areal lahan gambut tersebut sudah dipersiapkan semua bibit tanaman pangan dan ternak, agar nantinya bermanfaat untuk ketahanan pangan di Kalteng, bahkan untuk kebutuhan Kalimantan maupun seluruh Indonesia. Areal persawahan seluas 123 ribu hektar tersebut akan sangat bermanfaat untuk peningkatan produksi beras di Indonesia, bahkan kebutuhan swasembada beras. Namun sayang sekali, proyek PLG ini terhambat hanya karena izin yang diberikan kepada pihak swasta untuk perkebunan kelapa sawit.
Selain itu, PLG tersebut juga sangat bermanfaat untuk lapangan kerja, karena diusulkan untuk penambahan 46 ribu kepala keluarga transmigrasi. Saat ini sebetulnya sudah ada sekitar 15 ribu kepala keluarga transmigran dari berbagai daerah, antara lain dari Jawa, NTT bahkan dari bekas pengungsi Timor Timur. Namun separoh atau sekitar 7.500 kepala keluarga dari 15 ribu kepala keluarga tersebut sudah keluar dari kawasan karena tanah yang diperolehnya kurang cocok. ”Masalah transmigran itu juga yang masih menjadi masalah BAPPENAS, karena kekurangan tenaga akan mempersulit keberhasilan proyek PLG. Namun pengucuran dana untuk menahan 7.500 kepala keluarga tersebut masih menghadapi kendala karena menunggu kepastian proyek PLG.