Rabu, 08 April 2009

Perdagangan Karbon di Lahan dan Hutan Gambut

Perdagangan Karbon di Lahan dan Hutan Gambut
Sebuah Proyek atau Ancaman Bagi Hak Masyarakat Adat atas Tanah dan Hutan di Kalimantan Tengah


Yayasan Petak Danum (YPD) salah satu lembaga swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang advokasi dan penyadaran masyarakat di wilayah kawasan Gambut, berdiri sejak tahun 1998, diawali dari pertemuan antar masyarakat korban proyek PLG 1 juta hektar. Kegiatan YPD diantaranya adalah; Memfasilitasi penguatan masyarakat melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan dibidang perkebunan, perikanan, kerajinan, budidaya pertanian dan lainnya. Sampai saat ini ada sekitar ± 500 orang telah difasilitasi pelatihan dan ketrampilan. Pada bulan Desember 2007, YPD telah memfasilitasi musyawarah rakyat pengelola gambut, dan akhirnya muncul organisasi rakyat yang diberi nama ARPAG (Aliansi Rakyat pengelola Gambut).

Dalam Resolusi ARPAG, yang dideklrasikan tanggal 8 Desember 2007 di Kuala Kapuas, bahwa perubahan iklim global merupakan salah satu kegagalan pembangunan di dunia yang memberikan sumbangan kerusakan alam di muka bumi ini. Perubahan iklim ini disebabkan sumbangan industri-industri di negara maju yang berdampak pada kehidupan masyarakat di negara berkembang, salah satu korbanya adalah masyarakat adat di Pulau Borneo. Tanggungjawab atas kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup ini tidak menjadi beban negara berkembang dan rakyatnya. Tetapi seharusnya negara maju bertanggungjawab atas perubahan iklim global ini. ARPAG Kalimantan Tengah, menuntut tanggungjawab negara maju untuk segera mengurangi sumbangan pencemaran udara, tingkat konsumsi, dan menyelesaikan sengketa atas konflik pengelolaan sumberdaya alam di negara dunia ketiga yang hampir semua di kuasai oleh pemodal asing. Ketidakadilan iklim global yang dilakukan oleh negara maju kepada negara berkembang atas perubahan iklim yang sekarang terjadi, sehingga masyarakat adat menjadi korban dari adanya kerusakan iklim global. Misalnya: masyarakat adat di Kalimantan Tengah tidak boleh membuka perladangan (tanam padi) untuk kebutuhan bahan pangan beras, melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2007 tentang larangan membakar, ini merupakan ancaman bagi keamanan pangan (beras) masyarakat adat Kalimantan Tengah.

Tanggungjawab kerusakan Lingkungan dunia atas industri global adalah bukan negara berkembang (Indonesia) khususnya rakyat Pulau Borneo, tetapi negara kaya harus bertanggungjawab atas kerusakan dimuka bumi. Adanya ketidakadilan negara maju dan negara berkembang dari adanya perubahan iklim yang sekarang terjadi, sehingga masyarakat adat menjadi korban dari adanya kerusakan iklim global.

Gagalnya Regime Global
Krisis energi global adalah persoalan ekonomi politik yang merupakan soal penguasaan akses ekonomi, alokasi sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi. Ini adalah soal siapa yang memperoleh manfaat (keuntungan), siapa yang menanggung biaya eksternalitas, diantaranya adalah biaya kerusakan/pencemaran lingkungan. Jadi disimpulkan Krisis lingkungan global adalah soal tatanan sosial-ekonomi yang tidak adil.

Secara umum sebagian besar penduduk negara –negara kaya dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang tinggi berkat penghisapan terhadap kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara selatan atau negara yang lebih miskin, serta terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya. Gaya hidup dan pola konsumsi merekalah yang seharusnya bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup dan tatanan sosial akibat eksploitasi yang membabi buta di negara-negara yang menjadi sumber penghisapan.

Perubahan iklim merupakan hasil persamaan yang kompleks dari gagalnya model pembangunan skala global. karena itu setiap upaya untuk menghindari pemanasan global dan perubahan iklim serta upaya-upaya beradaptasi pada kondisi atmosferik yang berubah juga tidak sederhana. Melihat kembali persoalan hubungan antar bangsa, negara, dan individu yang terjadi selama berabad-abad dan tidak kunjung berubah, tidaklah layak menafikan kondisi ketidak adilan yang masih terus menerus terjadi.

PLG dan REDD; Solusi Bagi Masyarakat Adat
Proyek Lahan Gambut 1 juta hektar telah berlalu, mengakibatkan dampak kerusakan dan kemiskinan cukup parah ditingkat masyarakat. Issue perubahan iklim yang lebih memfokuskan diri di lahan dan hutan gambut sebagai bagian proyek yang dapat menyerap karbon, maka Indonesia menawarkan proyek REDD. Proyek ini atas desakan negara kaya ataupun bank dunia. Rendahnya martabat Bangsa Indonesia di pentas global ini ditunjukkan melalui proposal REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia), Mekanisme ini menegaskan pemerintah untuk mengemis kepada negara-negara maju dalam memperbaiki kondisi hutan Indonesia, maka tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Mengapa demikian? Karena negara-negara maju juga memiliki tanggung jawab besar ketimbang ‘membagi’ uang receh kepada negara-negara berkembang, seperti Indonesia, untuk menjaga kelestarian hutannya, sementara mereka terus memproduksi karbonnya dalam jumlah yang lebih besar.”

Alasan Pokok :
Pertama; REDD tak lebih dari upaya menutup akses masyarakat sekitar dan di dalam hutan untuk mengambil manfaat dari hutan berdasar hukum adat yang mereka warisi secara turun-temurun.

Kedua, REDD tak lebih dari kesempatan mensubsidi sektor privat dan korporasi, yang pada hakikatnya merekalah yang bertanggung jawab atas deforestasi di Indonesia.

Ketiga, REDD akan menjadi alat konsolidasi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan dan pertambangan.

Keempat, REDD merupakan wujud penyederhanaan dan kedangkalan pikir. Betapa tidak, hutan adalah ekosistem yang sangat kompleks, dan memiliki nilai penting bagi kehidupan umat manusia, lebih dari sekadar transaksi ekonomis jual-beli karbon.

Proyek REDD akan Menghilangkah Hak Rakyat Atas Tanah dan Hutan Adat
Bila proyek REDD ini diterima oleh masyarakat adat, apapun alasannya, maka, masyarakat adat jangan bicara atau menuntut tanah dan hutan adat. Karena dalam implementasi REDD, hak-hak adat tidak diakui, karena REDD akan dibiayai oleh perusahaan dan atau Negara maju, sehingga, REDD salah satu jalan masuk untuk menghilangkan hak-hak adat atas tanah, hutan adat dan sumberdaya alam yang ada di desa dan antar desa.

Sehingga, pertanyaannya adalah : apakah masyarakat adat akan menerima konsep dan operasional REDD ? Bila tidak, langkah apa yang akan diambil bersama agar hak-hak tanah adat, hutan adat serta sumberdaya alam yang lainnya tidak hilang ? Masyarakat adat disekitar dan korban PLG 1 juta hektar, tanpa REDD juga sudah melakukan rehabilitasi lahan dan hutan adatnya secara swadaya. Inisiatif ini penting untuk diperjuangkan agar mendapat pengakuan dan penghargaan sebagai warga negara yang bermartabat. Misalnya masyarakat di Desa Mahajandau, Sei Jaya, Bakuta, Pulau Kaladan, Mantangai, Sei Ahas, Katunjung, Tarantang, Dusun Talekung Punei, telah melakukan penanaman pohon karet seluas 1.640 Hektar, kebun rotan seluas 5.525 hektar, membangun persawahan seluas 3.430 hektar, kebun purun seluas 481 hektar, rehabilitasi hutan dengan berbagai jenis pohon lokal seperti pohon pantung, muhur, blangiran, sungkai, dan lain sebagainya seluas ± 1.758 Hektar serta membuat dan memulihkan kembali ribuan beje-beje yang telah hilang dan rusak. Inisiatif ini lebih baik dari pada konsep REDD yang mengancam hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan, beje, Sungai, handil dan tatah yang akan dihilangkan. (Muliadi/Doc.YPD April 2009*)

Tidak ada komentar: