Senin, 21 Januari 2008

DEKLARASI


Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG)

Kalimantan Tengah

Kami Peserta Musyawarah Besar Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG) sampai kondisi hari ini berdasarkan pembelajaran, membaca secara objectif atas situasi masyarakat lokal di wilayah eks Pengambangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar Kalimantan Tengah dan kondisi subyektif gerakan yang telah dilakukan, maka membangun organisasi massa sebagai bangunan dan mendorong proses pembelajaran bersama, persatuan dan kerja-kerja perjuangan atas hak-hak pengelolaan sumberdaya alam gambut berdasarkan kearifan tradisional yang dimiliki guna mencapai cita-cita keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian, mendeklarasikan berdirinya Aliansi Rayat Pengelola Gambut (ARPAG) sebagai wadah perjuangan rakyat.

Aliansi Rakyat Pengelola Gambut bertekat mewujudkan tatanan masyarakat baru berdasarkan nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial, kedaulatan atas sumberdaya alam gambut, kemandirian ekonomi dan Kelestarian Lingkungan Hidup. Bekerja pada prinsip membela masyarakat yang tertindas, melawan ketidakadilan, membangun masyarakat adat dan mengembangkan gagasan yang cerdas dan kreatif.

Bersama deklarasi ARPAG Kalimantan Tengah yang menjalankan mandat Musyawarah Besar I tanggal 6 s/d 8 Desember 2007, maka ARPAG dan segenap anggotanya yang tersebar di 52 Desa/Kampung, terdiri dari 3 wilayah Kabupaten (Kapuas, Pulang Pisau dan Barito Selatan) dan Kotamadya Palangkaraya, menyatakan untuk melindungi wilayah adat masyarakat berdasarkan Gong berbunyi dan seluas + 200.000 hektar untuk menyelamatkan ruang kehidupan masyarakat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, hukum dan menyumbang penyerapan polusi udara (CO2- karbon dioksida) untuk keselamatan masyarakat di muka bumi ini.

Hidup ARPAG, Hidup Rakyak, Hidup ARPAG, Hidup Rayat, Merdeka!!!!!!

Musyawarah Besar ARPAG Kalimantan Tengah

Kuala Kapuas, 6 s/d 8 Desember 2007

Sekilas Tentang

Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG)

Kalimantan Tengah


Musyawarah Besar Rakyat Pengelola Gambut yang diselenggarakan mulai tanggal 6 s/d 8 Desember 2007, dengan ditutup serangkaian pengukuhan pengurus besar ARPAG dan pengurus Koperasi ARPAG ”Sinje Simpei” secara adat yang dipimpin oleh Damang Kepala Adat Mengkatip Barito Selatan. Mubes ARPAG yang untuk pertama kalinya menghasilkan terbentuknya pengurus ARPAG, Garis-Garis Besar Program Kerja ARPAG dan Penetapan Anggaran Dasar ARPAG, serta Rekomendasi dan Resolusi ARPAG yang disampaikan pada Deklarasi ARPAG sekitar jam 12.00 tanggal 8 Desember 2007 di Kuala Kapuas Kalimantan Tengah.

Provinsi Kalimantan Tengah memiliki kawasan tropika basah yang cukup besar dari beberapa type hutan basah diantaranya adalah hutan rawa gambut, mempunyai ciri yang unik dan khas yang paling rentan terhadap perubahan lingkungannya. Hutan rawa gambut ada dangkal dan dalam serta mempunyai keunikan dengan airnya yang berwarna hitam bahkan sering dikenal dengan nama ekosistem air hitam.

Pada tahun 1995, lahir kebijakan baru dalam pengembangan lahan rawa yaitu pembukaan lahan rawa secara besar-besaran melalui Keppres No. 82 tahun 1995 tanggal 26 Desember 1995 yang dikenal dengan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) sejuta Hektar di Kalimantan Tengah, mencakup bagian wilayah Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Barito Selatan dan Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Timur. Program swasembada pertanian tanaman pangan, sebagai tujuan nasional adalah beras yang gagal ini menyisahkan banyak persoalan, mulai dari persoalan kerusakan ekologi gambut sampai kemiskinan yang melanda masyarakat lokal sekitar dan di daerah eks PLG.

Secara umum dampak yang ditimbulkan oleh mega proyek 1 juta hektar PLG di Kalimantan Tengah sangat terasa bagi sumberdaya alam gambut dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal di kawasan gambut. Dampak yang memberikan kontribusi pada perubahan bentang alam gambut melalui; pembukaan lahan - hutan gambut secara membabi buta, penebangan, penggusuran kawasan hutan, kebun rotan, beje-beje, sungai-sungai, handil-handil dan pengerukan gambut-gambut dalam mengakibatkan kebakaran hutan, hilangnya mata pencaharian penduduk, kejutan budaya dan musnahnya habitat satwa-satwa dilindungI. Hilangnya mata pencaharian masyaraklat local dari SDA berdampak pada daya beli masyarakat menurun, biaya pendidikan, kesehatan, bahan pangan dan lainya menjadi beban berat bagi masyarakat. proses pemiskinan sumberdaya alam local – yang berakibat juga pada kecendrungan aktivitas masyarakat untuk merusak sumberdaya alam – hutan. Konflik social, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin berkurang, mendapat sorotan dunia international kebijakan yang merusak SDA dan social, budaya - ekonomi masyarakat dan hutan gambut di Kalimantan Tengah.

Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG) adalah organisasi rakyat yang secara sadar dan mandiri di bangun atas dasar kepentingan rakyat yang bermukim di wilayah hutan-lahan gambut khususnya eks PLG 1 juta hektar. Organisasi Rakyat ini memiliki 61 organisasi rakyat di tingkat Desa/ Kampung yang tersebar di 52 Desa/ Kampung meliputi Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, Barito Selatan dan Palangkaraya Kalimantan Tengah. Saat ini anggotanya meliputi 3.000 orang petani dan nelayan sungai, danau di ekosistem gambut.

VISI ARPAG adalah Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat secara ekonomi, sosial, budaya, hukum dan politik yang dapat menjaga kelestarian sumberdaya alam gambut sebagai ruang kehidupan generasi.

MISI ARPAG adalah:

1. Sebagai wadah masyarakat pengelola gambut dalam pertukaran informasi, komunikasi, konsultasi hukum, teknologi dan penyelesaian kasus-kasus yang terjadi.

2. Mengembangkan perekonomian masyarakat dalam bentuk usaha produktif.

3. Membangun sistem data dan informasi, komunikasi ditingkat ARPAG dan keluar yang berpihak pada petani.

4. Mendorong pembuatan kebijakan yang dapat memperbaiki kehidupan masyarakat lokal

5. Membangun jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga ditingkat lokal, nasional dan international dalam memperjuangkan hak-hak petani yang lebih baik.

Tujuan ARPAG

1. ARPAG bersama anggotanya dapat memperjuangkan kebijakan pemerintah yang dapat memberikan kehidupan masyarakat disekitar gambut yang lebih baik di Kalteng.

2. ARPAG Secara kelembagaan dan anggota ARPAG mampu menggerakan kekuatan yang dimiliki dalam memperjuangkan hak-hak untuk menjamin keidupan masyarakat sekitar gambut mulai tingkat anggota, organisasi dan masyarakat Kalimantan tengah.

3. ARPAG dapat membuka akses informasi secara luas tentang pasar, teknologi dan modal melalui upaya kerjasama dengan para pihak yang mendukung perjuangan ARPAG.

Garis Besar Program ARPAG:

1. Melakukan Pembelaan (Advokasi) bagi masyarakat disekitar kawasan Gambut, Sumber Daya Alam secara adat dan secara Hukum.

2. Memperkuat hak-hak masyarakat adat secara tertulis atas tanah adat, hutan adat, kebun, sungai, beje, handel, danau yang dikelola berdasarkan aturan-aturan lokal masyarakat adat di kawasan gambut Kalteng.

3. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan sumber daya alam gambut.

4. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan guna menjamin kedaulatan ekonomi masyarakat disekitar gambut

5. Membangun kerjasama dengan pihak-pihak luar untuk mendukung perjuangan masyarakat di sekitar gambut sepanjang tidak menghilangkan hak-hak masyarakat adat

6. Memperjelas tata batas wilayah antar desa secara tertulis dan tanda-tanda adat (sungai-sungai dan pohon).

Susunan Pengurus ARPAG

Kalimantan Tengah Periode Tahun 2007 s/d 2010


DEWAN ALIANSI ARPAG:

Ketua : Austin Binti (Barsel)

Wakil Ketua : Rusnadi (Kota Palangkaraya)

Wakil Ketua : Nau Don Yusias (Pulang Pisau)

Sekretaris : Karman Edo (Kapuas)

Anggota : Sudir Junas (Pulang Pisau), Ewaldianson, SE (Kapuas) Susundoro,

(Kota Palangkaraya), Sampet (Kapuas), M. Jafarco Lewis (Barsel)

PELAKSANA HARIAN ARPAG:

1. Sekretaris Pelaksana Harian : Muliadi. SE

2. Adminsitrasi dan Keuangan : Titus

3. Devisi Organisasi dan Keanggotaan : Ihwan, Allo Lambung

4. Devisi Pendidikan dan Pelatihan : Yuparnadi, Yustine Eti Sriwati

5. Devisi Advokasi dan Kampanye : Alpian, Manuparyadi, Aseperado, Liun,

Siswanto, Hambri

6. Devisi Logistik dan Pendanaan : Drs. Yales. Y.M. dan Wismanto. SE


Alamat Sekretariat ARPAG:

(d/a YPD) Jln. Cilik Riwut No. 11 RT. III RW. XVII Kelurahan Selat Dalam 73516

Kabupaten Kapuas-Kalimantan Tengah, Telp. (0513) 22379 email : petakdanum@gmail.com


Kontak Mobile: Muliadi (0813 52761222)

Kamis, 17 Januari 2008

KELOLA GAMBUT BERBASIS MASYARAKAT ADAT NGAJU

Oleh: Ewaldianson, SE [1]

(Anggota Dewan Aliansi Masyarakat Adat Kalteng)

Posisi dan Ancaman Masyarakat Adat

Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun diatas suatu wilayah Adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum Adat, dan lembaga Adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat dan keberadaan masyarakat Adat sudah ada jauh sebelum Negara Republik Indonesia berdiri.

Hutan Rawa Gambut adalah salah satu ekosistem hutan tropis di Kalimantan Tengah yang sangat kaya akan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang tinggi dimana berbagai jenis aktivitas dilakukan oleh berbagai pihak baik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan eksplorasi tambang (minyak bumi, batu bara, dll) maupun yang memanfaatkan hutan dan lahan-lahan masyarakat adat untuk investasi perkebunan besar (seperti perkebunan sawit). Semakin beragam dan tingginya pihak-pihak yang pemanfaatan ruang kehidupan rakyat sebagai aktivitas utamanya, juga semakin memberikan kecendrungan ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat baik sebagai profesi maupun sebagai komunitas.

Dengan keluarnya Undang-Undang OTDA No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk masyarakat didaerah sekitarnya memiliki peluang untuk dapat menyampaikan aspirasi politiknya kepada pihak penyelenggara Negara guna memperbaiki kehidupan mereka saat ini. Namun pada kenyataannya sumberdaya masyarakat sangat lemah dan berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Pemerintah dan para Investor. Kenyataan yang terjadi, bahwa keterpurukan masyarakat tersebut disebabkan karena dominasi ekonomi, kehadiran modal, pengaturan keuangan rakyat, kebijakan yang tidak berpihak dan transparan terhadap masyarakat serta kurangnya jaminan perlindungan atas hak-hak dan kelayakan hidup bagi masyarakat adat.

Jalan masih panjang dan berat bagi masyarakat di daerah untuk dapat menjadi mampu mengajukan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupannya, mengusulkan jalan keluar yang sesuai dengan kondisi mereka seperti yang diijinkan dalam Undang-Undang tersebut. Maka masyarakat perlu berusaha untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dari berbagai aspek kepentingannya yang diawali dengan menyusun secara bersama usulan pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan konflik pemanfaatan lahan dengan perubahan kebijakan (regulasi) yang tidak berpihak kepada masyarakat dan penyelesaian kasus kasus masih belum selesai dan tidak jelas.

Pengakuan Wilayah Kelola Masyarakat Adat

Masyarakat Adat yang mayoritas Suku Dayak Ngaju yang menjadi korban dari dampak PPLG 1 Juta ha Kalimantan Tengah selalu mempertanyakan dan menuntut kepastian hukum tentang batas kawasan hak kelola masyarakat Adat, karena sampai saat sekarang masih belum ada ketetapan Pemerintah tentang batas kawasan tersebut, baik itu Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Daerah (Perda). Bahwa keberadaan masyarakat adat sudah diakui oleh piagam PBB dalam kerangka kerja ILO 169 – tentang Masyarakat Asli, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan


dalam UUD 1945, Undang-Undang Pokok Agraria 1960, dan UU Pokok Kehutanan No 41, adalah hal penting yang perlu diingat dan terus diperjuangkan bersama. Ini menjadi satu dilema bagi masyarakat adat, ketika Pemerintah masih saja tetap tidak mengakui keberadaannya sampai saat ini, walaupun kenyataannya ada.

Memperhatikan Pengumuman Pemerintah RI melalui Surat Siaran Pers Gubernur Kalimantan Tengah, tanggal 5 September 1998 .. Kutipan : Lahan – lahan yang dianggap hak Ulayat/Adat masyarakat (misalnya 1 – 5 Km dari kiri kanan Daerah Aliran Sungai / DAS) yang seyogiyanya termasuk dalam tata ruang Desa dikembalikan kepada masyarakat dalam keadaan yang sudah ditata dan siap diolah oleh masyarakat agar mereka dapat berkreasi dalam proses menuju pertanian yang lebih baik. Siaran Pers ini merupakan kelanjutan dari pernyataan resmi Menteri Pertanian RI atas nama Pemerintah Pusat kepada media massa bulan agustus 1998, yang menyebutkan; bahwa PPLG 1 Juta ha telah gagal dan tidak dilanjutkan, kemudian hal-hal yang menyangkut pemulihan dan perbaikan sumberdaya alam yang telah rusak akan dilakukan sesegera mungkin dengan membentuk tim terpadu akan diatur kemudian.

Namun demikian, semua ini tentunya kita mengharapkan pengakuan yang jelas tentang wilayah kelola SDA dan hak-hak masyarakat Adat mengetahui dengan jelas tentang dimana, bagaimana dan sejauh mana batas kawasan hak-hak kelola Masyarakat Adat di eks PLG.

Inisiatif Kunci Masyarakat Adat Dayak Ngaju Dalam Kelola SDA Gambut

Yang dimaksud dengan sumberdaya alam lokal adalah sumberdaya alam yang terdapat diwilayah kelola masyarakat Adat, yang dimiliki atas dasar hak-hak Adat secara turun temurun seperti : Pukung Pahewan, Hutan Adat, Tanah Adat, Tempat Keramat, Sungai, Tatah, Danau, Beje, Handel, Tanggiran (Pohon Madu), Kebun Rotan, Kebun Karet, Kebun Purun, dan Kebun Buah-buahan, sebagai sumber penghidupan dan tatanan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Adat setempat.

Mencermati atas wilayah kelola masyarakat adat yang telah disepakati bersama 5 kilometer kiri sungai dan 5 kilometer kanan sungai adalah batas kelola adat di setiap desa/kampung. Diluar itu merupakan wilayah kelola adat antar kampung. Luasan wilayah kelola masyarakat adat yang ada sekarang ini bila di kelola berdasarkan kearifan lokal, dengan ketentuan hak-hak adat, melebihi 200.000 hektar yang tersisa untuk menjadi jaminan masa depan generasi dan menyumbang penyerapan polusi udara CO2 yang terdapat di Indonesia dan dunia.

Perhatian Pemerintah Pusat untuk melakukan percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan eks PLG melalui INPRES No: 2 Tahun 2007, merupakan bentuk nyata tanggungjawab atas bencana kerusakan gambut, tetapi. Inpres no 2 ini hanya memberikan pekerjaan teknis tanam menanam pohon, Inpres TIDAK memberikan jaminan atas hak tanah serta sumberdaya alam wilayah adat.

Upaya masyarakat lokal dalam rehabilitasi gambut di masing-masing Desa/ Kampung melalui penanaman pohon hutan dan kebun telah dilakukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Kegiatan ini merupakan tradisi yang sejak lama sudah dilakukan, bukan hal baru dan asing bagi masyarakat lokal. Dengan di dampingi Yayasan Petak Danum sejak tahun 1998- sampai saat ini, masyarakat mulai bergairah melakukan perbaikan dan pemulihan wilayah kelolanya, mulai dari membangun kebun rotan, karet, purun, membuat beje, kerajinan tangan sampai melakukan pencetakan sawah untuk kebutuhan bahan pangan. Walaupun upaya ini jauh dari sempurna.



[1] Di sampaikan dalam Musyawarah Rakyat Pengelola Gambut tanggal 6 Desember 2007, di Kuala Kapuas

Keluar Dari Mimpi Buruk Dampak PLG Kalteng

Oleh: Muliadi [1]

Bencana Gambut atas Kebijakan Pemerintah

Sumberdaya alam gambut diketahui sejak lama terbentuk, lebih dari ribuan tahun lalu. Sumberdaya alami merupakan penopang kehidupan masyarakat lokal yang bermukim di gambut. Mereka adalah suku dayak Ngaju secara turun temurun melakukan pemanfaatan dan pelestarian untuk kebutuhan hidup keluarga, mulai dari mengambil hasil hutan non kayu, kebun rotan, kebun karet, kebun purun, bercocok tanam padi sawah, mencari ikan di sungai, danau, tatah, handil, beje (kolam ikan di hutan gambut) dan berburu hewan yang tidak dilindungi oleh masyarakat local. Hasil-hasil sumberdaya ini untuk kebutuhan keluarga mulai dari pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan dan lain sebagainya. Sumber-sumber alam gambut yang ada pemanfaatan dan pelestariannya di lakukan secara bersama diatur oleh sebuah aturan lokal (hukum adat).

Keserasian alam dan masyarakat lokal di kawasan gambut terusik dengan kehadiran mega proyek 1 juta hektar dimulai tahun 1996, berdasarkan Kepres no 82 tahun 1996. Luasan kawasan yang akan dijadikan proyek mencapai 1 juta hektar yang termasuk didalamnya sebanyak 72 desa di 3 Kabupaten (Kapuas, Pulang Pisau dan Barito Selatan) dan 1 Kotamadya Palangkaraya. Proyek ini di dasarkan pada jawaban pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan beras di Indonesia.

Dengan model pembukaan proyek yang tidak mempelajari kondisi alam dan social ekonomi budaya masyaraat lokal, maka proyek ini bukan menjadi berkah bagi masyarakat tetapi menjadi sebuah bencana alam yang sengaja di ciptakan. Sumberdaya alam yang dikelola rakyat hancur oleh pembangunan infrastruktur proyek misalnya; kanal-kanal saluran primer dan sekunder, pembatatan hutan secara membabi buta, menggusuran kebun rotan, karet, purun, beje, sungai dan danau-danau. Kebakaran hutan dan lahan terjadi sepanjang tahun sejak 1996 sampai sekarang, dengan model tebas, tebang bakar, proyek telah menghancurkan semua kawasan gambut yang terhampar seluas lebih 1 juta hektar.

Dampak Yang Tidak Dapat Dihindari:

Hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal dari SDA berdampak pada daya beli masyarakat menurun, biaya pendidikan, kesehatan, bahan pangan dan lainnya menjadi beban berat bagi masyarakat, dan masyarakat mengalami proses pemiskinan sumberdaya alam lokal – yang berakibat juga pada kecendrungan aktivitas masyarakat untuk merusak sumberdaya alam – hutan. Rusak dan menurunnya fungsi hutan kawasan gambut sedang dan dalam, sumberdaya air, kebakaran gambut, berdampak pada hilangnya habitat-habitat satwa yang dilindungi, mata pencaharian masyarakat dan terganggunya ekosistem air hitam. Konflik sosial, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin berkurang, SDA rusak dan tidak tertata dengan baik pola pemanfaatannya, Biaya rehabilitasi mahal dan lama, mendapat sorotan dunia international kebijakan yang merusak SDA dan social, budaya - ekonomi masyarakat dan Lingkungan Hidup.

Semangat Rakyat Untuk Bangkit

Dimulai dari satu kesadaran bersama masyarakat lokal yang telah menjadi korban mega proyek PLG 1 juta hektar. Ketiadaan jawaban atas hancurnya sumberdaya alam lokal akibat proyek merupakan pikiran yang menghantui sebagian besar korban proyek. Pada umumnya masyarakat tidak mampu berpikir untuk bergerak dan menjawab keterpurukan ekonomi yang berasal dari sumberdaya alam local. Kondisi yang hancur dan sulit untuk dipulihkan merupakan sebuah bahan diskusi setiap hari. Tetapi, tidak ada rotan, akarpun jadi. Itulah semangat masyarakat korban PLG untuk bangkit bersama.

Semangat dimulai dari satu bentuk pertemuan kecil disebuah desa. Bagaimana masyarakat bias memulihkan sumberdaya alam gambut yang telah dirusak oleh kebijakan pemerintah yang tidak memberikan keselamatan atas rakyatnya. Dari situasi ini, sekelompok anak muda korban berkumpul di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang diberi nama Yayasan Petak Danum. Lembaga ini tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat korban PLG untuk memberikan semangat untuk memulihkan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Di awal tahun 1999, YPD bersama 7 kelompok petani (dan bekerja untuk lebih 50 desa di eks PLG) yang dibentuk dan melakukan kegiatan bersama, diantaranya:

1. Melakukan dan membuat percetakan sawah baru seluas 125 hektar yang dikembangkan di 7 desa, perkembangan sampai saat ini telah terbuka lahan persawahan masyarakat seluas 478 hektar yang tersebar di Desa Mahajandau, Mangkatip, Bakuta, dan Dusun Talekung Punei. Usaha ini mulai di perluas di beberapa desa lainnya secara swadaya mencapai 1.000 hektar lebih.

2. Melakukan Pembibitan dan penanaman karet sebanyak 9.200 pohon untuk lahan seluas 23 hektar. Kebun karet yang berkembang saat sudah mencapai 71 hektar yang tersebar di Desa Tambak Bajai, Sungai Jaya, Bakuta dan Mahajandau. Usaha ini terus diperluas di beberapa desa lainnya mencapai ribuan hektar.

3. Pembibitan dan penanaman rotan sebanyak 2.000 pohon untuk lahan seluas 105 hektar, sampai saat ini sudah berkembang seluas 214 hektar dengan hasil panen sebanyak 2.540 ton atau rata-rata dalam per hektar dihasilkan 10-12 ton karet basah. Kegiatan budidaya rotan dikembangkan di Desa Sungai Jaya, Mahajandau, Bakuta, dan Tambak Bajai. Lebih dari puluhan ribu wilayah hutan adat yang dilindungi oleh masyarakat atas dasar aturan lokal.

4. Pendampingan masyarakat korban dalam penyelesaian sengketa tanah dang ganti rugi dengan pihak pemerintah dan perusahaan swasta.

5. Memfasilitasi penguatan masyarakat melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan dibidang perkebunan, perikanan, kerajinan, budidaya pertanian lainnya. Sampai saat ini ada sekitar lebih 500 orang telah difasilitasi pelatihan ketrampilan.

Ada banyak contoh lainnya yang telah dilakukan bersama masyarakat untuk membangun kekuatan bersama bangkit dari keterpurukan akibat bencana mega proyek gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah.

Masyarakat Tidak Berdiam Diri, Terus Bergerak.

Kehancuran sumberdaya alam gambut dan sistem social, ekonomi dan budaya masyarakat local, bukan berarti, masyarakat tidak memiliki semangat. Janji manis yang diberikan oleh pemerintah tidak pernah kunjung tiba, ini salah satu proses pembangunan yang hanya bisa merusaknya tanpa mau memperbaiki kembali. Masyarakat korban PLG, tidak akan pernah bekerja disebuah kantoran, perusahaan ketika sumberdaya alamnya tidak ada lagi, mereka tetap kembali untuk membangun Desa/ Kampungnya bersama. Setiap saat berpikir dan terus bergerak untuk mencari jalan keluar dari mimpi buruk mega proyek 1 juta hektar, dan bekerja bersama keluarga untuk tetap bertahan hidup, sampai saat ini.

Berangkat dari satu sumberdaya alam yang dimiliki masyarakat korban adalah semangat untuk bangkit bersama. Titik awal dari nol merupakan salah satu niat baik untu memulihkan sumberdaya alam local untuk kesinambungan social, ekonomi dan budaya masyarakat untuk pulih dalam melakukan kerjasama antar masyarakat. Setidaknya, ada sawah yang telah berproduksi, ada kebun rotan, karet yang telah memberikan harapan baru, ada beje-beje yang telah belajar berproduksi, dan ada banyak lagi kemampuan masyarakat lokal dalam melakukan proses pengembangan diri dan keluarganya untu hidup lebih baik.

Upaya yang sangat kecil tetapi dengan semangat yang cukup kuat, merupakan modal dasar dari apa yang menjadi mimpi masa depan rakyat. Sebatang pohon tidak akan pernah tumbuh, bila, sebatang pohon ditanam tanpa ada semangat dan bersama maka pohon itu tidak pernah akan tumbuh dengan baik. Setidaknya, dengan bekerja bersama, ada harapan masa depan bersama. Satu yang masih harus terus diperjuangkan masyarakat adalah wilayah kelola adat yang sejak turun temurun sudah teruji dalam pengelolaan sumberdaya alam gambut berbasis kearifan lokal. Ada sekitar lebih ratusan ribu hektar hutan adat di wilayah kelola gambut yang telah dilindungi oleh masyarakat lokal untuk kelangsungan hidup generasinya. Saatnya, masyarakat di wilayah eks PLG memperkuat dirinya dengan membangun organisasi rakyat untuk pengelolaan sumberdaya alam gambut untuk menjamin keselamatan hidup keluarga dan generasinya. (Mul/desember/2007)



[1] Direktur Eksekutif Yayasan Petak Danum (YPD) Kalimantan Tengah.

Bencana Itu Proyek PLG 1 juta hektar


Proyek Lahan Gambut 1 juta hektar.


Menurut luasan Propinsi Kalimantan Tengah 153.564 Km Persegi dengan posisi geografir terletak antara 0’45° LU dan 3’30° LS serta antara 111°-115° BT terdiri atas 14 (empat belas) Kabupaten serta 1 (satu) Kotamadya/Kota. Secara khusus, wilayah proyek PPLG 1 juta hektar wilayah blok A dan B terdapat di wilayah; Kabupaten Kapuas (luas Kabupaten 38.400 Km²), Kabupaten Pulang Pisau (8.997 Km² Pemekaran) dan Kabupaten Barito Selatan (12.664 Km²)


Pada tahun 1995, lahir kebijakan baru dalam pengembangan lahan rawa yaitu pembukaan lahan rawa secara besar-besaran melalui Keppres No. 82 tahun 1995 tanggal 26 Desember 1995 yang dikenal dengan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) sejuta Hektar di Kalimantan Tengah dengan Pembagian wilayah kerja sebanyak 85% berada di Wilayah Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, 10% di wilayah Kabupaten Barito Selatan, dan 5% berada diwilayah Kotamadya Palangkaraya untuk program swasembada pertanian tanaman pangan, sebagai tujuan nasional adalah beras. Secara Teknis pola pengembangan lahan gambut terbagi dalam beberapa zona pengembangan seluas 1.695.868 Ha dengan pembagian sebagai berikut yaitu : Zona A seluas 313.195 Ha, Zona B seluas 314.153 Ha, Zona C seluas 568.635 Ha, Zona E seluas 337.607 Ha


Luas wilayah Mega Proyek ini, menurut SK Menteri Kehutanan Nomor: 166/Menhut/VII/1996 perihal pencadangan areal Hutan untuk Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah + 1.457.100 hektar, dibagi menjadi blok/daerah kerja sebagai berikut: Blok A seluas 227.100 hektar (15,59%), Blok B seluas 161.480 hektar (11,08%), Blok C seluas 568.635 hektar (39,03%), Blok D seluas 162.278 hektar (11,14%), Blok E seluas 337.607 hektar (23,17%). Program swasembada pertanian tanaman pangan, sebagai tujuan nasional adalah beras yang gagal ini menyisahkan banyak persoalan, mulai dari persoalan kerusakan ekologi gambut sampai kemiskinan yang melanda masyarakat lokal sekitar dan di daerah eks PLG.


Dampak Mega Proyek PLG 1 juta hektar:

Secara umum dampak yang ditimbulkan oleh mega proyek 1 juta hektar PLG di Kalimantan Tengah sangat terasa bagi sumberdaya alam gambut dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal suku dayak Ngaju. Pembukaan lahan melalui penebangan, pembongkaran gambut-gambut tebal, penggusuran kebun rotan, kolam ikan tradisional (beje), sungai-sungai, danau-danau, handil-handil mengakibatkan kebakaran hutan, hilangnya mata pencaharian penduduk, musnahnya flora dan fauna khas yang dilindungi. Penebangan kayu hutan secara illegal yang marak karena akses proyek terhadap tegakan hutan gambut sangat mudah dan diikuti oleh masyarakat (dengan alasan ekononomi dan perut) yang di motori oleh para cukong-cukong semakin merambah kuat dan meningkat di kawasan PPLG, tanpa ada upaya hukum yang berarti. Konflik social, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin berkurang, serta terganggunya tatanan social masyarakat lokal.

· Pembukaan lahan di kawasan hutan gambut dalam secara membabi buta mengakibatkan dampak yang cukup parah terhadap kondisi social, ekonomi dan budaya masyarakat local secara mendadak dan tanpa ada yang bisa menghalangi kebijakan PPLG.

· Penebangan, penggusuran kawasan hutan, kebun rotan, beje-beje, sungai-sungai, handil-handil dan pengerukan gambut-gambut dalam mengakibatkan kebakaran hutan, hilangnya mata pencaharian penduduk, kejutan budaya dan musnahnya habitat satwa-satwa dilindungi.

· Penebangan kayu hutan secara illegal yang diikuti oleh masyarakat (dengan alas an ekononomi dan perut) untuk pemenuhan kebutuhan industri sector hilir perkayuan yang di motori oleh para cukong-cukong semakin merambah kuat dan meningkat di kawasan PPLG, tanpa ada upaya hukum yang berarti.

· Hilangnya mata pencaharian masyaraklat local dari SDA berdampak pada daya beli masyarakat menurun, biaya pendidikan, kesehatan, bahan pangan dan lainya menjadi beban berat bagi masyarakat, dan masyarakat mengalami proses pemiskinan sumberdaya alam local – yang berakibat juga pada kecendrungan aktivitas masyarakat untuk merusak sumberdaya alam – hutan.

· Rusak dan menurunnya fungsi hutan kawasan gambut sedang dan dalam, sumberdaya air, kebakaran gambut, berdampak pada hilangnya habitat-habitan satwa yang dilindungi, mata pencaharian masyarakat dan terganggunya ekosistem air hitam.

· Konflik social, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin berkurang, SDA rusak dan tidak tertata dengan baik pola pemanfaatannya, Biaya rehabilitasi mahal dan lama, mendapat sorotan dunia international kebijakan yang merusak SDA dan social, budaya - ekonomi masyarakat dan Lingkungan Hidup.



Paska Proyek PLG, Ancaman Masih Datang

1. Investasi Kebun Kelapa Sawit

Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1984 telah menetapkan Rencana Induk Pembangunan Perkebunan, dan lahan yang sesuai untuk pengembangan berbagai komoditi perkebunan dicadangkan seluas 3.139.500 Ha atau 20.2 % dari luas Wilayah Kalimantan Tengah. Perkembangannya Pada tahun 1993 Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dan untuk pengembangan perkebunan dicadangkan seluas 1.700.000 Ha untuk pembangunan jangka panjang 15 tahun (1993–2008). Dari lahan ini sampai tahun 2002 telah tertanam perkebunan berbagai jenis tanaman seluas 715.079 Ha dan sisa lahan sebagian besar telah dicadangkan untuk perusahaan perkebunan dalam bentuk ijin arahan lokasi, ijin lokasi dan atau pelepasan kawasan hutan. Sampai akhir Tahun 2002, izin lokasi untuk usaha perkebunan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten sebanyak 194 buah dengan luas 2.642.672. Ha. Pengembangan komoditas kelapa sawit di Kalimantan Tengah menjadi inspirasi bagi pembuat kebijakan di tingkat Kabupaten dan Provinsi untuk memanfaatkan lahan yang telah terbuka di eks PLG untuk budidaya kelapa sawit.


Laporan resmi Yayasan Petak Danum dan Sawit Watch dalam temuannya sekitar Maret s/d Agustus 2005, dua kawasan gambut tebal ini mendominasi wilayah Kabupaten Kapuas, setidaknya ada 9 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mulai melakukan penjajakan operasional investasi kelapa sawit. Seluas 156.000 hektar. Dari jumlah 9 perkebunan kelapa sawit, 1 perkebunan kelapa sawit mengundurkan diri karena memang kondisi lahannya berada di gambut tebal sekali. Tetapi, temuan lainnya, sekitar Desember 2006, ditemukan data sebanyak 13 perusahaan yang telah mengantongi izin kebun sawit di eks PLG, dengan luas total + 317.000 hektar. Luas ini akan menggunakan semua areal lahan eks PLG yang terdapat di kawasan gambut tebal dan gambut sedang untuk dijadikan lahan Hak Guna Usaha (HGU) oleh 13 perusahaan tersebut. Walaupun demikian, temuan ini sempat di bantah oleh Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang SH sekitar 20 Maret 2007 dalam pernyataannya di Koran Banjarmasin Post, bahwa menyebutkan, luas kebun sawit yang dapat di tanam hanya 10.000 hektar, sisanya tidak bisa untuk alokasi kebun sawit.


Berbagai informasi ini telah menyebar melalui media maupun dari pertemuan ke pertemuan dikalangan pejabat di Kalimantan tengah. Walaupun akhirnya Gunernur memanggil 3 Bupati untuk meluruskan kebijakan izin kebun sawit. Tetapi, diantara ke 3 Bupati tersebut, Bupati Kapuas yang telah mengeluarkan lebih dari 9 Izin kebun sawit akan melakukan lobby ke jakarta untuk merubah ketetapan Inpres No. 2 tahun 2007 yang mengatakan hanya luasan 10.000 hektar saja yang dapat ditanami kelapa sawit.

2. Rencana Konservasi Gambut

Setelah PPLG dinyatakan gagal, upaya pemerintah pusat untuk melakukan rehabilitasi dan pemulihan eks PPLG dilakukan, dengan strategi menetapkan kawasan-kawasan khusus dalam pelestarian dan pemanfaatan eks PPLG. Dalam tata ruang pemulihan terpadu kawasan eks PPLG, termasuk didalamnya adalah kawasan yang di konservasi. Kawasan ini, diusulkan oleh sebuah lembaga international dalam pelestarian satwa untuk menjadi kawasan Taman Nasional. Kehadiran usulan menjadi Taman Nasional atau kawasan Lindung, membuat resah masyarakat sekitar dan didalam yang masuk dalam peta usulan. Luas wilayah yang diusulkan mencapai lebih + 377.000 hektar yang meliputi 6 Kademangan Adat yaitu: Dusun Hilir, Karau Kuala, Timpah, Mentangai, Jenamas, Dusun Selatan. Dimana wilayah Kademangan ini meliputi beberapa desa di dalam yang memiliki wilayah kelola secara adat ditingkat Desa. Keresahan yang terjadi ditingkat masyarakat adat di 6 wilayah Kademangan ini membuat beberapa Demang Kepala Adat didorong untuk menyikapi persoalan ini secara adat, bila usulan kawasan konservasi akan ditetapkan menjadi Taman Nasional, maka, hak-hak masyarakat adat Ngaju dalam pengelolaan sumberdaya hutan, sungai, beje-beje, kebun rotan yang masuk didalamnya.


Dengan kondisi ini para damang melayangkan surat kepada pihak Pimpinan Yayasan BOSF MAWAS Project Kalimantan Tengah di Jalan Rajawali IV No. 38 Palangkaraya 73111 Kalimantan tengah. Bunyi surat yang ditembuskan ke beberapa Instansi dan DPR-DPRD, ini menyebutkan ” Dengan hormat, Memperhatikan perkembangan tentang Konservasi BOS MAWAS yang mengancam keberadaan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat di Kedamangan Dusun Hilir/Jenamas, Karau Kuala dan Kedamangan Dusun Selatan. Hal ini berkaitan dengan banyaknya laporan dari masyarakat adat disekitar wilayah konservasi BOS MAWAS diantaranya masyarakat tidak boleh berusaha diwilayah konservasi BOS MAWAS, tidak boleh menebang pohon walaupun hanya untuk membuat perahu, mencari ikan. BOS MAWAS melibatkan oknum aparat TNI/POLRI dalam mengamankan kawasan konservasi, BOS MAWAS tidak menghargai aturan-aturan adat setempat dan kelembagaan Kedamangan dalam melakukan pekerjaannya serta adanya isue program yang tidak jelas bagi masyarakat misalnya; konservasi orangutan kemudian muncul isue program carbon trading dan terakhir menjadi isue tentang kawasan TAMAN NASIONAL MAWAS seluas
± 377.000 ha yang diusulkan oleh Yayasan BOS (data angka bersumber dari peta kerja BOS MAWAS tahun 2004 dan Banjarmasin Post Tanggal 28 November 2006)”.


”Menyikapi fakta-fakta yang diperoleh dilapangan maka dengan ini Kedamangan Dusun hilir/Jenamas, Kedamangan Karau Kuala, Kedamangan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan secara tegas menolak dengan beberapa alasan sebagai berikut :

1. Karena kawasan konservasi [diusulkan Taman Nasional seluas ± 377.000 ha] BOS MAWAS berada di wilayah masyarakat adat 6 [Enam] Kedamangan yang akan mengancam hilangnya hak-hak masyarakat adat dan keberlanjutan penghidupannya dimasa yang akan datang.

2. Tidak ada sosialisasi secara menyeluruh dan programnya tidak jelas manfaatnya bagi masyarakat adat.

3. Sosialisasi yang dilakukan oleh BOS MAWAS di tingkat masyarakat tidak dapat menjawab jaminan hak masyarakat adat.

4. Dalam melakukan pengamanan areal kerja BOS MAWAS melibatkan oknum aparat (Polri) untuk mengintimidasi masyarakat, petani dan nelayan padahal kawasan tersebut statusnya masih belum jelas.

Demikian surat pernyataan sikap Kedamangan Dusun hilir/Jenamas, Kedamangan Karau Kuala, kedamangan Dusun Selatan kabupaten Barito Selatan ini kami sampaikan untuk menjadi perhatian pimpinan dan pengurus BOS MAWAS dan jaringannya. Surat yang ditandatangani tanggal 30 November 2006, oleh Damang dan wakil masyarakat Dusun Selatan, Karau Kuala dan Dusun Hilir.