Kamis, 17 Januari 2008

KELOLA GAMBUT BERBASIS MASYARAKAT ADAT NGAJU

Oleh: Ewaldianson, SE [1]

(Anggota Dewan Aliansi Masyarakat Adat Kalteng)

Posisi dan Ancaman Masyarakat Adat

Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun diatas suatu wilayah Adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum Adat, dan lembaga Adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat dan keberadaan masyarakat Adat sudah ada jauh sebelum Negara Republik Indonesia berdiri.

Hutan Rawa Gambut adalah salah satu ekosistem hutan tropis di Kalimantan Tengah yang sangat kaya akan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang tinggi dimana berbagai jenis aktivitas dilakukan oleh berbagai pihak baik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan eksplorasi tambang (minyak bumi, batu bara, dll) maupun yang memanfaatkan hutan dan lahan-lahan masyarakat adat untuk investasi perkebunan besar (seperti perkebunan sawit). Semakin beragam dan tingginya pihak-pihak yang pemanfaatan ruang kehidupan rakyat sebagai aktivitas utamanya, juga semakin memberikan kecendrungan ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat baik sebagai profesi maupun sebagai komunitas.

Dengan keluarnya Undang-Undang OTDA No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk masyarakat didaerah sekitarnya memiliki peluang untuk dapat menyampaikan aspirasi politiknya kepada pihak penyelenggara Negara guna memperbaiki kehidupan mereka saat ini. Namun pada kenyataannya sumberdaya masyarakat sangat lemah dan berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Pemerintah dan para Investor. Kenyataan yang terjadi, bahwa keterpurukan masyarakat tersebut disebabkan karena dominasi ekonomi, kehadiran modal, pengaturan keuangan rakyat, kebijakan yang tidak berpihak dan transparan terhadap masyarakat serta kurangnya jaminan perlindungan atas hak-hak dan kelayakan hidup bagi masyarakat adat.

Jalan masih panjang dan berat bagi masyarakat di daerah untuk dapat menjadi mampu mengajukan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupannya, mengusulkan jalan keluar yang sesuai dengan kondisi mereka seperti yang diijinkan dalam Undang-Undang tersebut. Maka masyarakat perlu berusaha untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dari berbagai aspek kepentingannya yang diawali dengan menyusun secara bersama usulan pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan konflik pemanfaatan lahan dengan perubahan kebijakan (regulasi) yang tidak berpihak kepada masyarakat dan penyelesaian kasus kasus masih belum selesai dan tidak jelas.

Pengakuan Wilayah Kelola Masyarakat Adat

Masyarakat Adat yang mayoritas Suku Dayak Ngaju yang menjadi korban dari dampak PPLG 1 Juta ha Kalimantan Tengah selalu mempertanyakan dan menuntut kepastian hukum tentang batas kawasan hak kelola masyarakat Adat, karena sampai saat sekarang masih belum ada ketetapan Pemerintah tentang batas kawasan tersebut, baik itu Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Daerah (Perda). Bahwa keberadaan masyarakat adat sudah diakui oleh piagam PBB dalam kerangka kerja ILO 169 – tentang Masyarakat Asli, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan


dalam UUD 1945, Undang-Undang Pokok Agraria 1960, dan UU Pokok Kehutanan No 41, adalah hal penting yang perlu diingat dan terus diperjuangkan bersama. Ini menjadi satu dilema bagi masyarakat adat, ketika Pemerintah masih saja tetap tidak mengakui keberadaannya sampai saat ini, walaupun kenyataannya ada.

Memperhatikan Pengumuman Pemerintah RI melalui Surat Siaran Pers Gubernur Kalimantan Tengah, tanggal 5 September 1998 .. Kutipan : Lahan – lahan yang dianggap hak Ulayat/Adat masyarakat (misalnya 1 – 5 Km dari kiri kanan Daerah Aliran Sungai / DAS) yang seyogiyanya termasuk dalam tata ruang Desa dikembalikan kepada masyarakat dalam keadaan yang sudah ditata dan siap diolah oleh masyarakat agar mereka dapat berkreasi dalam proses menuju pertanian yang lebih baik. Siaran Pers ini merupakan kelanjutan dari pernyataan resmi Menteri Pertanian RI atas nama Pemerintah Pusat kepada media massa bulan agustus 1998, yang menyebutkan; bahwa PPLG 1 Juta ha telah gagal dan tidak dilanjutkan, kemudian hal-hal yang menyangkut pemulihan dan perbaikan sumberdaya alam yang telah rusak akan dilakukan sesegera mungkin dengan membentuk tim terpadu akan diatur kemudian.

Namun demikian, semua ini tentunya kita mengharapkan pengakuan yang jelas tentang wilayah kelola SDA dan hak-hak masyarakat Adat mengetahui dengan jelas tentang dimana, bagaimana dan sejauh mana batas kawasan hak-hak kelola Masyarakat Adat di eks PLG.

Inisiatif Kunci Masyarakat Adat Dayak Ngaju Dalam Kelola SDA Gambut

Yang dimaksud dengan sumberdaya alam lokal adalah sumberdaya alam yang terdapat diwilayah kelola masyarakat Adat, yang dimiliki atas dasar hak-hak Adat secara turun temurun seperti : Pukung Pahewan, Hutan Adat, Tanah Adat, Tempat Keramat, Sungai, Tatah, Danau, Beje, Handel, Tanggiran (Pohon Madu), Kebun Rotan, Kebun Karet, Kebun Purun, dan Kebun Buah-buahan, sebagai sumber penghidupan dan tatanan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Adat setempat.

Mencermati atas wilayah kelola masyarakat adat yang telah disepakati bersama 5 kilometer kiri sungai dan 5 kilometer kanan sungai adalah batas kelola adat di setiap desa/kampung. Diluar itu merupakan wilayah kelola adat antar kampung. Luasan wilayah kelola masyarakat adat yang ada sekarang ini bila di kelola berdasarkan kearifan lokal, dengan ketentuan hak-hak adat, melebihi 200.000 hektar yang tersisa untuk menjadi jaminan masa depan generasi dan menyumbang penyerapan polusi udara CO2 yang terdapat di Indonesia dan dunia.

Perhatian Pemerintah Pusat untuk melakukan percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan eks PLG melalui INPRES No: 2 Tahun 2007, merupakan bentuk nyata tanggungjawab atas bencana kerusakan gambut, tetapi. Inpres no 2 ini hanya memberikan pekerjaan teknis tanam menanam pohon, Inpres TIDAK memberikan jaminan atas hak tanah serta sumberdaya alam wilayah adat.

Upaya masyarakat lokal dalam rehabilitasi gambut di masing-masing Desa/ Kampung melalui penanaman pohon hutan dan kebun telah dilakukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Kegiatan ini merupakan tradisi yang sejak lama sudah dilakukan, bukan hal baru dan asing bagi masyarakat lokal. Dengan di dampingi Yayasan Petak Danum sejak tahun 1998- sampai saat ini, masyarakat mulai bergairah melakukan perbaikan dan pemulihan wilayah kelolanya, mulai dari membangun kebun rotan, karet, purun, membuat beje, kerajinan tangan sampai melakukan pencetakan sawah untuk kebutuhan bahan pangan. Walaupun upaya ini jauh dari sempurna.



[1] Di sampaikan dalam Musyawarah Rakyat Pengelola Gambut tanggal 6 Desember 2007, di Kuala Kapuas

Tidak ada komentar: